Senja musim kemarau terasa kering berwarna. Langit cerah sedang berebut kuasa dengan bayangan gunung yang hampir menyembunyikan semburat cahaya emas di balik keangkuhannya. Waktu seakan berjalan teramat pelan. Menemani cahaya sore yang enggan segera beranjak, seolah masih merindukan lagit cerah tanpa awan. Sepasang mata menerawang ke atas semburat senja diatas langit yang menjelang redup. Sepasang mata berkaca-kaca merindukan cahaya agar tak segera terendap di balik gunung. Angin yang berhembus perlahan menepi, membawa serta aroma tanah belah. Kering karena terlalu lama tak pernah tersiram hujan. Perih menganga seperti luka yang lama mengering. Perlahan sepasang mata itu seperti semakin nanar memandang senja yang enggan beranjak.
Samar. Angin yang berhembus menyentuh dedaunan, menggoyang pohon-pohon perlahan. Menggesek dedaunan dengan ranting-ranting kering mengantarkan suara alam yang sangat indah. Samar di kejauhan. Suara alam yang dikomposisi oleh semesta itupun melarutkannya dalam sebuah kenangan.
Ia menggumamkan kata-kata yang tak jelas terdengar. Bahkan oleh telinganya sendiri. Ia sedang berbicara dengan batinnya. Berdialog dengan kekosongan hati. Setelah sekian lama ia memanggil kembali ingatan bawah sadarnya tentang sesuatu, tentang sebuah nama yang tidak ingin diingatnya namun tidak pernah bisa dilupakan.
Keriput di pipinya perlahan basah. Sepasang mata itu tak mampu menahan rindu. Sesekali tangan kakunya menyeka aliran kecil di wajahnya. Ia memejamkan matanya. Merasakan kembali senja yang pernah begitu dicintainya beberapa dekade ke belakang. Yang pada suatu ketika yang lain, juga pernah sangat dibencinya. Ia tidak pernah berharap, akan berakhir seperti senja ini. Dalam kesendirian. Setelah sekian lama ia mampu berdiri sendiri. Untuk pertama kalinya, di tengah hembusan napasnya yang tak lagi ringan, ia menyerah. Ia akhirnya mengakui. Waktu mungkin membawanya melewati semuanya. Namun tidak dengan ingatannya. Memori bawah sadarnya tak pernah benar-benar beranjak dari sebuah senja yang sudah lama berlalu.
But now the memories of the man are haunting her days
And the craving never fades
She still dreaming of the man long forgiven
But not forgotten
You’re forgiven, not forgotten...
Senja kemarau ini. Membuatnya menyerah pada nasib yang sudah terlanjur ditegakannya. Perang batinnya telah berujung pada kekalahan. Setelah sekian waktu berlalu. Ia menarik napas dalam. Perlahan. Matanya terpejam. Pedih. Batinnya tak cukup kuat untuk melupakan masa lalu...
Kalimat itu perlahan kembali terdengar samar, menemani matanya yang terpejam.
Bagi seorang linear seperti saya, yang namanya mimpi itu, ya tidur.
Sedangkan dalam tidur, tingkat konversi dari pikiran ke aksi adalah nol.
Jadi, bagi saya, sebesar apapun mimpi itu, ketika hendak dikonversi ke
alam nyata dalam bentuk aksi, maka hasilnya tetap nol. (Dimas G Randa)
Setiap kali saya membahas ini, tentang gambar
ini, dan tentang pernyataan sahabat baik saya yang ada di bawah gambar itu,
dibahas dengan siapapun, atau malah kalaupun didiskusikan dengan pikiran saya
sendiri, semuanya pasti kembali ke background pergerakan kampus IPB di masa
saya kuliah beberapa tahun yang lalu. Tepat di masa saya menjadi jembatan
koordinasi antara dua bagian Rijal dan Nisa di BKIM. Kisah ini akan selalu saya
kenang sebagai sebuah torehan sejarah tak terlupakan, karena dari sinilah bermula,
perbedaan pemahaman tentang DREAM atau mimpi atau impian, cukup menghambat komunikasi yang
terjadi dalam pergerakan. Begitu terasa karena saya berada dalam satu posisi
kunci komunikasi, Ketua Harian I untuk Wilayah Kampus Darmaga.
Menurut kamus Besar bahasa Indonesia mimpi
adalah sesuatu yang terlihat dalam tidur dan masih menurut kamus bahasa Indonesia juga, impian
adalah barang yang sangat diinginkan.
Perkaranya mudah saja
sebenarnya, kaum rijal dimana saya bernaung sebagai juru bicara dalam sistem
komunikasinya, menganalogikan DREAM
sebagai mimpi, maka betul jika salah satu sahabat baik saya menentang
dengan keras kata-kata DREAM yang digunakan sebagai cita-cita revolusi kampus
yang sedang kami rintis. Alasannya juga tepat, sebagaimana yang sering dia
katakan “yang namanya mimpi itu, ya
tidur. Sedangkan dalam tidur, tingkat konversi dari pikiran ke aksi adalah nol.
Jadi, bagi saya, sebesar apapun mimpi itu, ketika hendak dikonversi ke alam
nyata dalam bentuk aksi, maka hasilnyatetap nol”. Seperti biasa, dan umumnya pemikiran kaum pria, logis.
Alih-alih menyetujuinya, kaum Nisa
juga tidak mau kalah berteriak keras. Bersikukuh mengatakan bahwa DREAM adalah impian. Sesuatu yang
sangat diinginkan. Karenanya, hampir dalam setiap perdebatan dan forum diskusi
yang secara langsung mempertemukan kedua kubu ini, Kubu Nisa akan dengan sangat
bangga menggunakan kata DREAM sebagai kata pengganti untuk cita-cita pergerakan
kampus. Sebuah kata universal yang mudah diingat dan ditancapkan dalam benak
mereka sebagai sebuah tujuan hidup.
Sampai dengan tahap ini, saya
sendiri sering kebingungan. Siapa yang salah? Siapa yang benar? Karena keduanya
berteriak sama lantang dan keukeuh
dengan pendapatnya masing-masing.
Dalam konteks ini sebetulnya,
menurut saya pribadi, akan lebih mudah untuk menyelesaikannya seandainya ada
satu pihak yang mengubah sudut pandang dan menggeser persepsinya. Bisa saja
rekan-rekan nisa yang mengubah penyebutan DREAM menjadi cita-cita atau tujuan
pergerakan, dan sayangnya, sepanjang yang saya tahu, itu hal yang sangat sulit,
karena sudah termaktubkan dalam benak dan hati mereka semua bahwa DREAM adalah
kata yang paling tepat. Dalam hal ini, mereka mempertahankan sisi emosionalnya.
Saat itu saya coba beralih ke
rekan-rekan Rijal. Saya pernah nyeletuk “yaudah
sih, anggap aja DREAM itu impian
bukan mimpi. Lagian kan memang secara kontekstual kita ngeh juga dengan apa yang mereka maksud dengan kata-kata itu. Maksudnya
ngajak punya cita-cita bareng dan
bukan ngajak tidur bareng”.
Uniknya, rekan-rekan Rijal
dengan tegasnya membantah. “DREAM itu ya mimpi!”
Pagi
yang dingin. Malam sudah sampai di penghujung subuh. Langit yang gelap sedang
perlahan memulai hari dengan cahaya fajar yang baru terlihat sekilas saja. Aku
berjalan perlahan diantara pinggiran jalan desa ditemani embun yang hinggap di
rerumputan yang perlahan-lahan membasahi sandal jepitku, menggoda kakiku dalam
dinginnya pagi yang terasa semakin menusuk. Alhamdulillah, rasanya tak
henti-henti kuucap syukur kepada-Nya sepanjang perjalanan pulang dari mesjid
pagi ini. Udara segar, atmosfer penuh oksigen minus emisi kendaraan, sesuatu
yang teramat jarang atau mungkin bahkan sesuatu yang mustahil kudapati di
kawasan Industri tempat tinggalku.
Sebelum
memasuki halaman rumah, penasaran kulihat lagi langit di sebelah timur dimana
fajar mulai sedikit beranjak. Bulan yang terlambat menghilang masih terlihat
terang, ditemani Venus dan dua bintang yang terang benderang. Sekali lagi
membuat pagi itu terasa teramat sempurna untukku.
Bergegas
aku memasuki rumah dan menuju kamarku. Semerbak melati sejenak menyergap penciumanku
ketika kubuka pintu kamarku. Suara tilawah al qur’an perlahan memenuhi atmosfer
hangat kamarku, di atas sajadah di samping ranjang pengantin kami, masih
lengkap dengan mukena putihnya, kudapati istriku sedang mengaji, merdu mengalun
menggetarkan perasaan. Aku tertegun, sebelum ini tak pernah kudengar suaranya
ketika mengaji, ini kali pertama aku mendengar suaranya yang mengalun merdu,
rasanya tak pernah kudengar nyanyian apapun yang lebih indah dari suara
tilawahnya.
Ya,
suara tilawah itu adalah suara Nia. Malam ini adalah malam pertama ia menjadi
istriku, dan pagi ini adalah pagi pertama dalam hidupku dimana aku mendapati
seorang wanita cantik sedang mengaji di kamarku. Sekali lagi dadaku berdegup
merasakan euphoria luar biasa. Ia adalah istriku. Sebuah status yang baru saja
semalam ini ia resmi menyandangnya, status barunya sebagai seorang istri. Aku
tersenyum sendiri, perlahan rasa haru dan bahagia menghampiriku. Perlahan
kulepas kemejaku dan duduk bersandarkan bantal di ranjang pengantinku, tepat di
samping sajadah Nia. Kupejamkan mataku sembari meresapi lantunan suara istriku.
Sungguh, sekali lagi berani kukatakan, aku pria paling bahagia di dunia.
Sejenak ketika aku hampir
terbuai suara pagi yang tiba-tiba sunyi, kurasakan seseorang duduk di tepi
tempat tidur. Kubuka mataku dan kudapati Nia dengan mukena putihnya tersenyum.
“masih ngantuk mas?” “oh, ngga, mas lagi terbuai
menikmati surga dunia” “apa sih mas? Aneh ih… atau
jangan-jangan mau gombalin aku yah?” Perlahan ia meletakkan
tangannya di dadaku. Kugenggam jemarinya dan kudekap erat didadaku. “aku sedang merasakan
euphoria luar biasa dek, kebahagiaan hari ini terasa sangat luar biasa. Mulai
dari subuh yang segar, langit pagi yang luar biasa dan sambutan suaramu di
kamar ini… “ Sejenak ia mengusap rambutku
dan membetulkan kaosku seperti anak kecil. Sambil tersenyum ia kembali
bersuara. “itu sebetulnya biasa saja
mas, tapi karena hatimu lagi bahagia, makanya jadi berasa istimewa” “udara dan atmosfernya
mungkin iya dek, tapi suaramu itu lho, tilawahmu itu betul betul baru pertama
kutahu…”
Ia tak menjawab, perlahan ia
bersandar manja di dadaku. Kurasakan detak jantungnya yang bergerak ritmis.
Kukecup keningnya dan kubiarkan ia tetap memelukku. Di atas ranjang bersejarah
bagi kami ini, sejenak kami berdialog dengan rasa sendiri sendiri dalam sepi.
Semalam, kamar ini menjadi saksi malam pertama kami. Malam dimana Nia
menyerahkan kesucian yang sepenuhnya ia berikan kepadaku, suaminya. Sebagai
ungkapan rasa yang selama ini ia pelihara hanya untukku. Perlahan kurasakan
butiran hangat menyentuh dadaku. Nia menangis di pelukanku.
“dek, kok nangis? Kenapa…?” “gapapa mas” “tapi kok nangis? Ada yang
salah?” “ngga mas, aku Cuma terlalu
bahagia hari ini…” “bahagia kenapa? Karena menjadi
istriku..?” Ia hanya mengangguk perlahan. “kenapa kamu sebahagia itu
dek?” Nia terdiam “apa karena aku seniormu di
kampus? Karena aku kakak kelas yang kalian anggap hebat?” Nia menggeleng perlahan “Atau karena karirku yang
cukup bagus?” Nia menggeleng lagi “atau karena semua
pencapaianku selama ini?” “bukan mas, bukan karena itu,
Nia bahagia karena bisa menikah dengan Mas, tapi bukan itu semua alasannya” “lantas apa alasannya dek?” Nia menatapku dengan mata
yang sembab, kuusap air mata yang mengalir di wajahnya. “kenapa dek?” “Nia bahagia, karena bisa
menikah dengan orang yang tepat, orang yang menyayangi Nia dan yang penting…” “apa yang penting dek…?” “Nia menikahi orang yang Nia
sayangi selama ini…”
Rasa haru dan bahagia kembali
menyergap atmosfer kamar kami pagi ini. Kupeluk erat Nia, wanita yang sejak lama kudambakan untuk menjadi istriku.
Sebuah sore
yang cerah di pinggiran kota Bogor. Darmaga memang sedang luar biasa hari ini,
mendung tiba-tiba saja tak datang hari ini, apalagi hujan, jauh panggang dari
api. Mentari seakan ingin menguasai langit. Semburat cahayanya mengisi setiap
jengkal atmosfer, menjalar ke dalam gang-gang kecil yang penuh sesak diantara
dinding-dinding kamar kosan mahasiswa. Seakan ingin memantapkan diri sebagai
penguasa hari.
Aku
masih tersudut di samping tempat tidur kecilku. Di pojok kamar sebuah rumah
kontrakan sederhana yang kami kontrak beramai-ramai. Cahaya mentari tak sanggup
menyapa isi kamarku. Ia hanya bisa mengintip lewat celah jendela yang sejajar
dengan arah cahayanya. Dalam keremangan itu aku masih termenung di depan meja belajar
kumal yang berisi tumpukan buku-buku tua dan setumpuk bahan kuliah warisan
kakak kelas. Termodinamika, aliran fluida, satuan operasi, bahan penyegar,
minyak lemak, oleokimia, pengemasan dan penyimpanan. Di sudut mejaku, radio
warisan kakakku yang tak jelas suaranya masih setia menemani soreku yang remang
itu. Muram. Bertolak belakang dengan langit menjelang ashar yang terang
benderang.
Pikiranku
dipenuhi dengan segala rumus hitungan irrasional. Hitungan ilmu pasti seburam
angka satu dibagi dengan nol. Semisal pikiran sia-sia karena berusaha
mengakarkan bilangan negatif. Entah apakah ini karena nasi uduk menu sarapanku
setiap hari itu tak sanggup menyambungkan sinapsis di otakku ataukah karena
justru masalah yang aku pikirkan samasekali tak membutuhkan banyak sel otak
untuk memikirkannya.
Baiklah,
untuk sederhananya kira-kira begini permasalahanku. Nasi uduk termurah di
lingkar kampus ini ada tepat beberapa meter dekat kosanku. Harga per porsinya
rata-rata tiga ribu rupiah (cuma sama gorengan dan sambel kacang). Ongkos
pulang Bogor-Banjar sekali jalan adalah Rp. 42.000,-. Hari ini Sabtu dan Bapak
memintaku pulang liburan ini hari Senin lusa. Lantas apa hubungannya nasi uduk,
ongkos dan jadwal pulang?
Sejujurnya
benang merahnya ada pada selembar kertas merah yang sedari ba’da dhuhur tadi
terus kupandangi, yang sedari tadi siang sengaja aku simpan diantara tumpukan
bahan kuliahku. Dan itu tak lain dan tak bukan adalah sisa uang bulananku yang
tersisa. Selembar kertas merah yang sudah tak cerah lagi warnanya dengan
nominal sepuluh ribu rupiah.
Aku
menghela napas dalam, memang rasanya percuma saja memikirkan bagaimana caranya
agar uang itu cukup untuk makan dua hari dan ongkos pulang. Percuma saja
dipikirkan.
***
Mentari
mungkin mengerti muramnya pikiranku. Sejenak kemudian ia turun dan terdengar
suara adzan Ashar dari masjid Al Wustha. Sekelebat kulihat sesosok kepala
muncul dari balik pintu kamarku.
“serius
amat mikirnya bro? Amat aja gak serius” Mas Harun seniorku tiba-tiba muncul di
balik pintu
“Lagi
pusing mas”
“ashar
aja dulu yuk, biar refresh dulu, tar abis shalat baru mikir lagi”
“siap!”
Sudahlah,
aku berpaling dari uang lecek itu dan bersiap untuk mengambil wudhu dan segera
shalat ashar ke masjid. Biarlah sejenak kulupakan tragedi kemanusiaan ini, biar
kulaporkan kepada Rabb semesta alam yang memiliki segala sesuatu, karena Ia
yang memiliki semesta dan isinya, maka apalah susahnya bagi-Nya untuk memberiku
makan dua hari dan mengantarku pulang ke Banjar.
Aku
mengikuti langkah Mas Harun keluar dari masjid. Entah baru berapa bulan aku
mengenal mereka. Orang-orang yang tak sengaja bertemu dan karena merasa senasib
akhirnya menjadi teman di kontrakan. Mereka juga yang mulai mengajakku tinggal
satu kosan, mengenalkanku pada ngaji dan selalu mengajak shalat jamaah di
masjid lima waktu. Mengisi acara luang kami di rumah kontrakan dengan kajian
rutin dan kultum mingguan, masak bareng atau malah nonton bareng film seri
naruto. Aku tak pernah tahu persis darimana mereka berasal dan bagaimana latar
belakang keluarganya. Kesamaan nasib, visi hidup, kenyamanan dalam
bersosialisasi, kemauan untuk saling mengingatkan, kesediaan untuk diingatkan
dan kesamaan nasib menjadi anak rantau menjadi alasan kenapa kami akhirnya
bergabung dalam satu keluarga baru.
Ketika
memasuki rumah kontrakkan, aku mendapati Kang Ivan, seorang kakak kelasku sudah
duduk manis di depan ruang TV.
“Assalamu’alaikum
kang” Aku menyapa
“wa’alaikumussalam”
jawabnya dengan ramah
“tumben
kang ada apa?”
“pengen
ketemu aja, udah lama ga ketemu, sekalian ada perlu mau minta bantuan”
“InsyaAllah
kalau saya bisa mah, nanti saya bantu”
“begini,
besok kita akan ada kunjungan eksternal nih, muhibah sekalian silaturahim,
rencananya ke sekolah pertanian ke arah sukabumi, nah kita besok mau minta
bantu dianterin, bisa?... besok free, kan?”
“iya
kang, bisa! Tapi nganterin pake apaan?”
“kita
ada mobil, tapi rencananya saya mau pake motor biar nyampe duluan, nah ntar
yang bawa mobil ente aja, gimana?”
“ooh
gitu, oke kang siap!!, buat akang mah saya ga tega nolaknya hehe...”
“alhamdulillah,
besok saya samperin ke sini bada subuh yah, kalau sudah siap, saya permisi dulu
yah” sejenak ia bersiap pergi tapi kemudian sebentar berpaling, “oia,
temen-temen nisa bilang ini akadnya ijarah yah...”
“iya
kang” jawabku singkat sambil menatap ia yang berjalan diantara tembok-tembok
kosan yang sangat kusam. Seniorku itu pergi dengan wajah sumringah karena sudah
mendapatkan tambahan bala bantuan untuk agenda dakwahnya ke eksternal kampus.
Beberapa waktu kemudian aku baru ingat, ijarah itu apa yah?! Ah shit!
Ini dia penyakitku, sering sok tahu dan lupa nanya! Tak apalah, besok kita
tanyakan kepada seniorku itu.
Penyakit
lupaku ini semakin parah ketika bertemu dengan selembar uang kucel merah di
meja kamarku. Pertanyaan tentang ijarah seketika menguap dari otakku,
berganti benang kusut yang semakin lama semakin terlihat seperti gumpalan awan,
tak tersentuh dan tak terbaca alur kusutnya. Sore memusingkan itupun akhirnya
berujung pada malam panjang penuh penderitaan dan kelaparan. Semuanya terjadi
karena uang lecek itu akhirnya kubelikan semuanya untuk stok makanan pokok
mahasiswa. Menu istimewa akhir bulan, masakan yang rasanya itu-itu saja, tapi
disukai orang seluruh indonesia, dan tiada lain dan tiada bukan, ia adalah mie
instant. Lumayan, tujuh bungkus, untuk dua hari.
***
Esok
harinya, waktu terasa berjalan sangat cepat dan menggembirakan. Bukan karena
stok mie tadi, tetapi karena perjalanannya gratis, makan siang gratis, dan
wisata gratis buat melupakan stok mie instant di kamarku. Singkatnya semua
berjalan dengan baik, rombongan sudah kujemput dan kuantar pulang dengan
selamat. Semua orang bahagia. Kecuali satu hal, aku masih lupa menanyakan apa
itu ijarah?!
Sore
hari kembali menjelang persis seperti hari kemarin, cerah. Menjelang maghrib,
kubersihkan diriku sejenak setelah semua keringatku mengering dan semua teman
kontrakannku berteriak menyuruhku mandi karena tak tahan dengan aroma yang
mereka cium dari badanku.
Ba’da
maghrib, aku kembali tenggelam dalam-dalam dalam kekusutan pikiranku yang
semakin menjadi. Mengingat tak sepeserpun uang tunai yang ada dalam dompet dan
semua kantong celanaku. lebih parah lagi karena besok hari Senin. Hari dimana
Bapak memintaku pulang liburan semester, membantu pekerjaan rumah, mengambil
bekal untuk perkuliahan yang akan datang, sekalian evaluasi semester ini. Dunia
terasa melebar, jarak Bogor-Banjar kurasakan mengembang seperti diameter jagat
raya, terlihat seperti rentang yang tak mungkin tertempuh akal sehat.
Dalam
kesepianku, Aku masih ingat ketika maghrib tadi aku berdo’a. Seperti yang
diajarkan Bapak, Aku bersyukur untuk semua kebahagiaan yang kudapati hari ini,
berterimakasih kepada-Nya untuk jalan-jalan gratisnya, makan siang gratis
dengan nasi dan lauk yang tadinya kupikir takkan pernah kucicipi paling tidak
dalam dua hari ke depan. Do’a panjangku kututup dengan permohonan tulus
kepada-Nya untuk mengantarku pulang ke Banjar entah dengan cara bagaimana,
“Ya
Rabb, Engkau pemilik semesta ini, pengendali seluruh galaksi yang bertebaran
dalam diameter rentang jarak yang terus mengembang tak berujung, Engkau yang
memberi kami semua rezeki, membagi makan untuk semua makhluk, Yang mengizinkan
dan mengawasi berbagai pergerakan di alam semesta, maka apa susahnya bagi
Engkau untuk memindahkan aku dari lingkar kampus ini, ke rumah...! rasanya tak
seberat menggerakkan jupiter, atau menjaga jarak bumi agar tak mendekat ke
matahari, Ya Rab, dengan segala kekuatanMu, berilah hamba jalan...”
Mungkin
sedikit berlebihan, tapi aku tahu pasti, itu adalah kenyataan, tidak ada
sulitnya untuk Ia memindahkan benda sebesar badanku dengan caraNya yang tepat,
tanpa membuat orang susah, dan sama seperti pegadaian, menyelesaikan masalah
tanpa masalah. Sedikit beban di kepalaku rasanya memudar dan hilang. Kuulangi
do’a karanganku itu berkali-kali sehingga aku yakin bahwa aku benar-benar kecil
dalam konstelasi jagat raya milik-Nya, sehingga masalahku ini bukanlah beban
yang sulit Ia selesaikan, hanya saja mungkin Ia sedang merancang jalan terbaik
untuk jadi perwujudan invisible hand-Nya.
“Assalamu’alaikum,
lagi serius nih keliatannya,” seonggok eh sebuah atau tepatnya se... sekelebat
kepala tiba-tiba muncul dari balik pintu kamarku dengan senyum tulusnya
“weits,
kang ivan, bikin kaget aja, wa’alaikumussalam, ayo masuk kang, silakan duduk,
aya naon deui yeuh...?”
“ini,
mau nganterin titipan dari temen-temen nisa, katanya terimakasih sudah diantar,
dan sesuai akad ijarah kemarin, ini ada titipan dari mereka”
ia
menyodorkan amplop putih dengan senyum paling cerah yang pernah kulihat.
Tiba-tiba aku teringat pertanyaan yang kemarin.
“ijarah
teh apaan sih kang, maklum saya mah baru mulai ngaji...”
Ia
tersenyum lagi,
“hehehe,
kamu mah... tau gitu saya ambil aja duitnya, kan ente gak ngerti artinya ijarah
hahaha” ia terlihat seperti menggodaku yang sedang bingung, “ijarah teh
semacam akad kerja, pengupahan, dalam kasus sekarang ini, temen temen nisa
meminta jasa ente buat nganterin mereka, dengan imbalan uang yang sudah mereka
siapkan, cuma saya juga minta maaf kemaren lupa ngasih tau nominalnya, harusnya
saya kasih tau biar sama sama ridho antara ajir dan mustajirnya”
“biar
saya tebak kang, jadi saya ajir orang yang disewa tenaganya, dan mereka mustajir
yah? Orang yang menyewa jasa ajir..?!”
“yaps
anda betullll...” ia membereskan tempat duduknya sambil berdiri,
“besok
minta dibahas saja masalah ijarah sama guru ngaji ente yah, saya mau
balik dulu, masih banyak tugas kuliah yang harus dikejar”
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam”
Aku
tak sadar kapan ia keluar dari kamarku, yang aku ingat saat itu kamarku
tiba-tiba menjadi cerah berwarna seperti baru saja di cat. Meja kumalku
ternyata tak kumal-kumal amat. Radio warisan kakakku suaranya terdengar lebih
jernih, dan semuanya terjadi begitu saja otomatis dan sangat cepat, sebagai
efek samping akibat nominal yang aku lihat setelah kusobek amplop titipan dari
kang Ivan. Lebih dari cukup untuk ongkos pulang ke rumah. Dengan penuh syukur
Aku terduduk di kasur kamarku, sekilas kulihat langit malam diantara celah
jendela kusam kamarku. Langit malam ini hitam bertabur bintang. Sekali lagi aku
yakin, jika Ia bisa dengan mudah mengatur konstelasi bintang-bintangnya, maka
takkan sulit bagiNya untuk merencanakan perpindahan koordinatku dari lingkar
kampus ke koordinat rumahku. Alhamdulillah.
Alur
berwarna kuning itu terlihat memanjang, berkelok diantara sela-sela
rerumputan liar yang tebal. Hmmm. Masih seperti dulu, alur bekas roda
sepeda itu masih ada. Denyut kehidupan di tempat ini masih mengandalkan
kendaraan sederhana itu, sepeda kumbang. Tanggul Citanduy yang penuh
berumput itu masih seperti dulu, hijau subur dengan dua alur berwarna
kecoklatan di tengahnya. Itu adalah sisa jejak roda sepeda yang setiap
hari bergantian melindas rerumputan.
“Saya akan
menghitung sepuluh menit dengan stopwatch! Kalian harus berlari turun
ke sisi selatan, naik lagi, terus turun ke sisi utara, dan naik lagi.
Lakukan terus selama sepuluh menit. Dan begitu saya tiup peluit,
berhenti dan diam di tempat”
Pria berwajah keras itu menatap mata anak-anak itu satu per satu, memastikan semuanya mendengarkan apa yang dia instruksikan.
“setelah
itu, Saya akan tiup peluit lagi dan kalian mulai menghitung detak nadi
masing-masing. Begitu tiupan peluit yang kedua, kalian berhenti dan
ingat-ingat jumlah detak jantung kalian selama semenit itu...” Ia
kembali mengambil jeda sebelum akhirnya berteriak
“kalian mengerti?!!”
“siapp!!! Mengerti pak!!” anak-anak itu membalas teriakannya.
Pria tua itupun menyiapkan peluit dan stopwatch tua di tangannya.
“siaaaap!!!
Satu... dua... tigaaa...!!“ priiiittt!! Seolah tidak puas dengan
teriakannya yang memekakkan telinga, pria tua antagonis itu pun meniup
peluit sekuat tenaga.
Rombongan anak-anak itu pun
menghambur menuruni tanggul, seperti sekawanan lebah yang terusik dari
sarangnya, berlomba mengejar sang pengganggu. Mereka bersemangat
menuruni tanggul dan kemudian berbalik arah, mendaki dan kemudian
menuruni lereng tanggul di seberangnya. Mereka berlari bersemangat
sekuat tenaga masing-masing. Aku tersenyum mendapati seorang bocah
gendut yang tertinggal kecepatannya. Jarak yang ditempuhnya tertinggal
setengah dari pelari tercepat. Menjelang sepuluh menit, ia masih
berusaha bergerak lebih cepat, meski pergerakannya semakin limbung.
Prittt!!
Anak-anak itu pun berhenti dan berdiri di tempat berhenti masing-masing. Save by the bell, bocah gendut itu tersenyum, semuanya sudah berakhir.
Prittt!!
Mereka serempak memegang dada atau pergelangan tangan dan mulai menghitung.
Prittt!
Anak-anak itu pun akhirnya menghela napas panjang dan sebagian langsung duduk lemas menanti dipanggil namanya untuk setor angka.
***
Kringgg!! Suara kliningan sepeda membuyarkan konsentrasiku.
“permisi mas...” si Bapak tua di sepeda tersenyum ramah dan menyapaku
“monggo pak...”
Aku
melirik kembali ke arah trek lari anak-anak tadi, semuanya telah
hilang. Aku tersenyum menatap jalan menurun dari tanggul Citanduy.
Bapak tua berwajah keras itu, rombongan anak-anak itu, dan bocah gendut
itu. Mereka hilang. Aku hanya bisa mendapati angin semilir yang
menyentuh ilalang dalam kesunyian. Namun semua kejadian itu masih
terekam jelas dalam ingatanku, bahkan aku masih bisa mengingat detak
jantung yang sangat cepat setelah tes itu. Sepuluh tahun bukanlah waktu
yang sebentar untuk dilalui. Banyak hal terjadi diantara masa itu dan
sekarang.
Setelah sekian waktu berlalu, rombongan anak-anak itu masih sering aku rindukan.
===================================
Mengenang acara rutin menjelang latihan silat semasa SMP
Putaran waktu memang hanya milik-Nya. Tak terduga dan kadang
irasional. Menuntun manusia menyusuri kejadian demi kejadian, menyusuri
rentetan peristiwa yang lebih sering kita sebut dengan nama kehidupan.
Terus berputar, penuh dengan kejutan, ketakterdugaan atau bahkan
pengulangan, selayaknya deja vu. Siklus kehidupan yang kususuri malam
ini teramat biasa pada awalnya, namun menjadi sesuatu yang luar biasa
ketika sejenak aku terdiam dan merasakan sesuatu yang timbul dari alam
bawah sadarku, secara tak sengaja, tak kentara, tapi semakin menguat
secara perlahan.
Berawal dari sebuah forum di facebook yang
dibuat oleh seorang teman lama. Teman yang sudah tidak pernah kutemui
sejak sepuluh tahun lalu. Beberapa hari terakhir, anggota forum kami
terus bertambah, dari satu, dua, hingga empat puluh satu orang teman
lama kami berkumpul dan saling menyapa di forum ini. Menumpahkan segala
rasa, haru, kangen, geli, dan menghangatkan kembali istilah-istilah
lama yang dahulu pernah begitu akrab di telinga kami. Semua kuanggap
biasa pada awalnya.
Sampai pada satu titik di malam ini, seorang dari temanku berkomentar...
“bener git, kangen masa sasapedahan, jajan ka Bi Nonok, mancing pake bala-bala hahahaha... Masa yang ga akan terlupakan git...”
Maka
sejenak pikiranku kembali ke masa sembilan atau duabelas tahun yang
lalu. Atau mungkin lebih jauh dari itu. Ketika kami masih berseragam
putih merah dan bahkan jauh sebelum kami mampu berkhayal memakai
seragam putih biru. Sejenak aku berpikir, apa yang kami lakukan hari
ini, chat, bercengkrama di facebook dan berkomunikasi tanpa dibatasi
jarak, adalah sesuatu yang biasa hari ini, tapi tak pernah terbayangkan
dan sesuatu yang sangat keren jika dibayangkan dengan kacamata putih
merah kami saat itu. It’s Magic!
Maka sejenak pikiranku
melayang pada sebuah bangunan SD tua, dengan velg mobil tua dan besi
pemukul berkarat sebagai bel-nya. Bi Nonok sang penjaja kupat tahu dan
gorengan di ujung tembok pagar kelas enam, Bi Aah yang setia menjual es
dawet di pojok desa, tepat di depan kelas satu dan Nini Kawi, si Nenek
yang sedikit kurang sehat pikirannya, penjual makanan kecil favorit
anak-anak.
Latar ini sudah lama sekali kutinggalkan,
terjadi pada saat uang jajanku masih ada nominal dua puluh lima
rupiahnya, saat harga kupat tahu tak lebih dari lima puluh rupiah, es
dawet menu spesial pakai roti hanya seratus rupiah dan semangkok bakso
dorong yang paling enak masih bisa dibeli dengan harga seratus lima
puluh atau paling mahal dua ratus rupiah saja. Nah lho, kenapa tolok
ukurnya harga makanan semua? Jawabannya simpel saja, karena itu,
jajanan yang paling sering ditemui di depan sekolah tua kami.
Kesan tua dalam benakku akan semakin bertambah citarasa tua-nya jika membayangkan sepeda onthel milik
Pak Adeng, Kepala sekolah kami, yang pastinya akan selalu terpajang di
depan ruang guru. Beliau memiliki dua sepeda tua, satu jenis sepeda
onta, dengan palang melengkung, dan satu sepeda dobel palang, yang
tingginya minta ampun. Keduanya selalu sangat bersih, kinclong dan
kuno. Menambah kuat citarasa pengabdian seorang guru senior.
Ketika
pikiranku tengah berputar pada masa itu dan mencoba berpikir dengan
pola pikirku di masa itu, maka laptop di depanku, yang sedang kupakai
untuk menulis note ini, adalah sebuah keajaiban tak terbayangkan pada
masa itu, jangankan memakainya, cara menyalakannya pun mungkin tak aku
tahu. Teknologi penghasil tulisan terbaik saat itu hanyalah mesin tik
tua. Dan duplikasinya adalah dengan menyelipkan kertas karbon diantara
dua kertas itu. Sistem duplikasi maksimal lima lembar, dan zero defect,
karena kalau terjadi kesalahan, kertas yang dibelakang karbon akan
sangat sulit di-tipe-x. Begitu sederhananya saat itu, sehingga suatu
hari aku pernah merasa bersalah ketika mengumpulkan tugas membuat puisi
dengan tulisan hasil ketikan mesin tik tua Bapakku. Lembar kertas itu
terlalu rapi, dan tidak terlihat selayaknya tugas anak SD, tapi
terlihat seperti lembar buku yang terlepas. Aku takut itu dikira bukan
buatanku. Menggelikan.
Menerawang masa-masa itu, maka
siapa sangka jika malam ini, kami bisa mencapai titik ini? Seorang
anggota forum kami online dari thamrin city, seorang lagi berkomentar
dari sebuah tempat di Saudi Arabia, seorang lainnya berkomentar dari
kapal pesiar yang sedang berlayar menuju Sydney. Dan sisanya, tersebar
di beberapa kota besar. Aaaah. Satu hal yang kami tahu, rasanya sangat
luar biasa! seolah tulisan kami di forum ini menyampaikan perasaan yang
dirasakan saat mengetiknya. Kami tersenyum, tertawa, haru, geli dan
bahagia.
Satu hal yang kami semua yakini, semua itu
terjadi bukan karena kebetulan. Bukan karena tarikan lingkaran takdir
semata, melainkan karena satu hal, yaitu MIMPI. Sejak dahulu kami
bertekad untuk memperbaiki hidup.. meski tak pernah terucapkan, tidak
pernah dituliskan, tidak pernah dijabarkan secara detail, namun
semuanya tercatat dengan jelas di benak kami, semua definisi tentang
perjuangan, harapan, impian dan keberhasilan. Hanya itu bahan bakar
yang membawa kami keluar dari pinggiran kota kecil itu, dan berani
berdiri diatas kaki sendiri, menghadapi putaran waktu, mengikuti
arusnya, dan mempertahankan semuanya tetap terkendali melawan
gravitasi, menuju semua cita-cita yang sudah terlanjur kami gantungkan
di langit tinggi yang teramat jauh. Semoga Tuhan memeluk impian kami.
Suatu ketika, saat tim kerja mengalami kepincangan akibat resignnya salah satu rekan kerja kami, bos meminta anggota team tersisa untuk memback-up team yang ditinggalkan. Akhirnya jam kerja kami berubah dari 8 menjadi 12 jam, shift pagi masuk jam 8 dan pulang jam 20, sementara shift malam masuk jam 20 dan pulang jam 8. Beruntung kami mendapatkan fasilitas antar jemput sampai ke rumah untuk perjalanan malam hari. Sehingga selama periode itu, Saya selalu menelpon security untuk dijemput jam 7 malam, kalau pas kebagian longshift malam.
Sekali waktu, pernah ada operator yang ikut security menjemput jam 7 malam. Sepanjang jalan banyak hal yang dicurhatkan sang security dan operator tersebut, mulai dari gosip pekerjaan sampai masalah peraturan kerja.
Setelah sampai di pabrik dan absen handkey, seperti biasa, Pak Security tersebut mengantarkan sampai ke depan koridor ruangan Spv Produksi. Sebelum turun seperti biasa Saya berterimakasih kepada sang penjemput
“oke pak, terimakasih sudah dianter sampai sini”
“oke pak, besok masih saya yang jemput yah”
“oke deh, seperti biasa ya Pak”
“sip!”
Ketika berjalan ke arah kantor, sang operator tiba-tiba nyeletuk
“ini nih yang bikin beda”
“apanya mas?” saya heran tiba-tiba dia berkata begitu
“itu lho... ‘terimakasih’-nya Pak, bikin orang ngerasa dianggap”
“maksudnya?”
“iya, kan nganter jemput Bapak itu kan udah tugas mereka, mau Bapak ngobrol atau cuek, mau bapak bilang ‘makasih’ atau ngga, kan mereka mah tetep wajib nganter jemput”
“emang apa bedanya sama yang lain?”
“yang lain tuh ada yang kalau turun ya turun aja, ga pake terimakasih, apalagi ngobrol di jalan, kayaknya ngga banget Pak”
“oooh, saya pikir bilang makasih itu sesuatu yang wajar”
Sang operator berlalu sambil senyum. Usut punya usut ternyata ada beberapa bos dan rekan kerja yang ternyata kalau dijemput atau diantarkan tidak pernah mengucapkan terimakasih, apalagi ngobrol banyak dengan sang pengantar jemput.
Dari kejadian ini saya menyimpulkan dua hal, bahwa bersosialisasi dan menghargai orang lain itu bisa dilakukan dengan hal-hal kecil yang terlihat sangat sepele. Pertama. Menyapa orang dengan ramah, menanyakan kabar, dan mendengarkan keluh kesah orang lain ternyata bisa membuat kita lebih “dekat” dengan orang lain. Seringkali Saya mengobrol dengan beberapa security yang menjemput, tentang pekerjaan mereka, keluarga, tempat sekolah anak mereka, sampai ke masalah karburator mobil. Mendengarkan terlihat seperti hal yang sepele, tetapi ketika kita bisa merasakan dan berempati dengan perasaan mereka, ini bisa membuat mereka merasa dianggap dan diperhatikan, apalagi jika kita bisa memberikan beberapa saran ringan yang mempermudah masalah mereka, maka akan timbul perasaan nyaman dan menambah kedekatan mereka dengan kita. Toh hubungan kerja atasan bawahan tidak harus selalu kaku dan formal. Selama masih ada batasan antara bawahan dan atasan, kenapa tidak kita ramah terhadap bawahan kita?
Kedua, the power of terima kasih. Mengucapkan terima kasih rasanya tidak akan menguras tenaga yang banyak. Saya yakin, energi dari sepotong gorengan bisa digunakan untuk mengucapkan “terima kasih” dengan tambahan senyum berulang-ulang sebanyak puluhan kali. So, kenapa tidak kita sedikit lebih menghargai tenaga orang dengan ucapan sederhana “terima kasih”? mungkin yang dilakukan orang lain adalah kewajiban yang harus mereka lakukan, dan sudah mendapat upah untuk semua itu, namun tidak ada salahnya kita menambah lebih upah mereka dengan sapaan hangat dan senyuman tulus serta sepotong ucapan terimakasih. []