Kamis, 28 Oktober 2010

Kereta Jelata

Mataku perlahan terbuka. Terdiam sejenak berusaha mengenali cahaya remang-remang dari lampu. Dalam samar aku melihat jarum jam tanganku. Emmh masih gelap. Kumiringkan ke arah cahaya dan samar kulihat jarum jam, sudah larut malam. Mataku berkeliling mengamati setiap sisi ruangan. Masih sama seperti di stasiun Tegal tadi, sepasang orangtua yang duduk di hadapanku masih terlelap. Sepertinya semakin nyenyak melawan sisa-sisa penat yang tergambar di wajah tua mereka. Kedua raga tua itu berayun diiringi detak roda kereta. Empat orang kakek di samping tempat duduk kami pun tampaknya sudah berhenti bernostalgia. Gelak tawa dan cerita masa muda yang sejak tadi tak sengaja kudengar tampaknya mulai berpindah ke alam mimpinya sendiri-sendiri. Sekilas aku memandang berkeliling sekali lagi, tampaknya setiap manusia tengah terlelap dalam tidur yang dalam. Mengobati kelelahan yang telah menggelayut sepanjang siang tadi.

Ahhh dingin sekali udara malam ini. Aku melirik ke atas jendela, bekas ventilasi yang seharusnya bisa dibuka tutup. Yang tertinggal hanya kusen baja berkarat tanpa ada tanda-tanda pernah ada kaca terselip di sana. Membiarkan angin malam menyeruak masuk dengan bebasnya. Menyentuh setiap tubuh yang ada di dalam kereta. Hmmm tampaknya harus membenamkan badan jauh ke dalam sweater.

“hmmmh...” aku meliriknya. Dia yang sejak tadi terlelap di pundak kananku. Tangan-tangan lembutnya semakin erat memeluk tanganku, alam bawah sadarnya telah menggerakkan otot tangan lembutnya untuk menyusup dan melindungi badannya dari udara yang berhembus kencang. Dingin memang terasa sangat di musim kemarau seperti ini. Kurapatkan sweater hitamnya, menutupi jilbab merah muda kesayangannya, sejenak kutatap dalam-dalam wajahnya. Sisa-sisa keringat masih terlihat menghiasi wajahnya. Ia masih terlelap. Lelah. Lelah setelah kepanasan sepanjang sore tadi. Lelah karena ia telah menuruti ajakanku untuk menaiki kereta ini. Aku memandangnya lekat. Ada terbersit perasaan bersalah telah mengajaknya dan setengah memaksa untuk naik kereta ini tadi sore. Kereta jelata yang sebenarnya -dalam keadaan normal- akupun sangat tak berminat untuk menggunakan jasanya.

“tak apalah toh kau tak sedang dan tak bermaksud menyakitinya...”

otak kiri berbisik ke hatiku. Sejenak bibirku tersenyum. Ada-ada saja. Pikirku. Demi berbagi pengalaman yang sudah berkali kualami, aku memaksanya untuk merasakan sensasi bertamasya dengan kereta jelata. Memaksanya kepanasan di siang hari dan kedinginan di malam hari seperti ini. Tak apalah sesekali saja kan...?. lagi lagi otakku yang berpikir lebih logis berusaha menenangkan hatiku yang masih rada gusar.

***

Mataku kembali menatap wajahnya. Tak pernah bosan mengagumi. Wanita yang telah memutarbalikkan semua prinsipku tentang kecantikan. Dulu, dulu sekali sebelum aku kuliah, cantik bagiku adalah rambut panjang yang tergerai bebas. Kulit kuning langsat dan badan semampai. Wajah cantik dan hidung mancung. Senyuman dengan gigi rapi atau semerbak wangi parfum. Dan pintar kalo bisa... Aku tersenyum mengingat semua kekonyolan itu. Memang tak salah rasanya aku berpikiran seperti itu, tapi jika aku membayangkan tiga atau empat tahun kemudian, maka dia yang ada di sampingku lah wanita yang paling cantik itu. Aku tak sempat melihat rambutnya sebelum menikah, tidak juga warna kulitnya atau aroma tubuhnya, bahkan ia tak pernah memperlihatkan lekuk tubuhnya. Tapi justru itulah yang membuatku mencintainya. Jilbab yang menjulur ke sekujur tubuhnya, khimar lebarnya, yang menutup pesona fisiknya justru membuatku jatuh hati padanya. dia yang memutarbalikkan semua prinsipku tentang kecantikan. Kecantikan yang sebenarnya, pesona yang muncul karena ketaatannya pada perintah Rab semesta alam. Dia bidadari penyejuk jiwaku. Jauh dalam hatiku aku bersyukur karena Allah telah menghadiahkannya untukku.

Aku masih menatapnya. Sejenak ia menarik sweater, matanya terbuka, menetralisir gelap dan memalingkan wajahnya ke luar jendela. Ia menarik napas dalam...

“masih jauh ya mas...”

“sebentar lagi”

malam masih dikuasai suara roda kereta

“dari tadi gak tidur yah?” pandangannya beralih ke wajahku

“tidur kok, cuma tadi kebetulan ajah bangunnya duluan”

“pasti ngga deh...!”. Kebiasaan! Pikirku. Melihat sorot matanya yang seolah berkata “ngaku aja deh...!”.

“tidur...”

“kok tadi pas aku bangun mas lagi ngeliatin?” bibirnya menggambar seulas senyum

“cuma memastikan kamu tidur dengan nyaman...”. ia tersenyum lagi,

“pastinya semaleman mas gak tidur, karena terlalu sibuk mengagumi anugerah Illahi, mas pasti banyak bertasbih dan memuji kuasaNya karena telah menciptakan keindahan di dunia ini”

“tapi di luar terlalu gelap... mas gak bisa liat apa-apa...”

“bukan mas... bukan keindahan yang itu”

“lho.. terus apa dong?”

dia tersenyum sambil memandang keluar jendela.

“kok malah senyum...?”

“pas aku bangun tadi, mas lagi menikmati keindahan itu kan...”

Bisa-bisanya dia menjawab seperti itu, padahal baru saja otaknya tersadar.

Dia tersenyum manja

“bener kan mas? Iya kaaan...!”. Dia berbisik menggodaku.

Speechless. Aku tak bisa menjawab apa-apa. Hanya bulir-bulir kebahagiaan tiba-tiba memenuhi kepalaku, membesar dan semakin membesar. Sejenak rasanya kereta ini cuma milik kami berdua. kulirik matanya yang menatapku dengan senyumannya.

“hehe kamu pinter yah... bisaan, padahal baru bangun lho”

Dia hanya tersenyum sambil memegang tanganku. Tapi dari rona merah di pipinya aku tahu apa yang ada di hatinya.

***

Laju kereta terasa perlahan menurun. Derit gesekan rem dengan rel kereta terdengar memanjang. Orang di luar sana tentunya dapat melihat percikan kembang api menghiasi sepanjang roda-roda kereta ini. PEKALONGAN. Sebuah papan tua lapuk berdiri di ujung stasiun ini. Umurnya sudah tak muda lagi. Mungkin sama tuanya dengan bantalan kayu besi di bawah rel kereta yang kunaiki. Berdiri tegak selama puluhan tahun dan menjadi saksi atas berbagai peristiwa di sepanjang rel yang juga tua. Cahaya lampu perlahan menyapu wajah kami, menyeruak masuk ke dalam celah-celah jendela kereta. Menerangi sebagian besar isi kereta. Sepasang sebaya di depan kami terbangun dari lelap tidurnya.

“sampe mana ini mas...?” si kakek bertanya

“pekalongan Pak” istriku menjawab duluan

“masih satu-dua jam lagi yah dik”

“itu juga kalo kita gak lama berhentinya Pak” ujarku

“tampaknya bakalan lama Pak” si kakek di bangku sebelah tiba-tiba menjawab. Kapan dia bangun yah? Tiba-tiba saja sudah segar begitu wajahnya.

“lho, memang ada apa pak?”

“kita kan nunggu kereta bisnis di belakang kita lewat dulu Pak”

“lhoo... padahal sudah dekat yah”

“mau apa lagi, mereka kan bayar lebih mahal, paling setengah atau satu jam Pak”

Senyum kecut terlihat sekilas di bibir si kakek.

“mas turun dulu yuk...” ajak istriku.

“laper...” bisiknya.

Aku mengangguk dan berdiri, pamitan ke si kakek sebentar. Menyusuri sesaknya gerbong, dan ah... Suasana di luar terasa sangat segar. Meski udara terasa sangat dingin.

Kurapatkan sweaterku. Sambil menyusuri tembok stasiun tua itu, aku tersenyum. Menggamit tangan istriku. Kalah juga nih protes mogok makan yang dilancarkannya gara-gara aku ajak naik kereta ini tadi.

“aww..!” tiba-tiba ada sesuatu terasa panas. Tangan mungilnya mencubit pinggangku.

“daripada aku sakit, ntar mas malah repot...!” tampaknya dia mulai bisa membaca isi kepalaku. Aku tersenyum kecut. Belum lama Tiar menjadi istriku, dia sudah seperti mengenalku lama sekali.

“iya, mas juga lapar...” jawaban aman.

Tak apa lah. Paling tidak dia tidak akan meneruskan program mogok makannya.

Langkah kami perlahan menyusuri stasiun ini. Bangunan stasiun ini tak lebih muda dari papan nama di ujung peron sana. Papan namanya juga sudah tua. Dihiasi sarang laba-laba menghitam di pinggirannya. Tembok penyangga, pilar pondasi yang menonjol sisa-sisa kolonialis masih berdiri tegak, jendela-jendela setinggi pintu masih terpasang erat. Bukti penguasaan teknologi kaum penjajah. Buah kemajuan pola pikir barat yang terpasang sampai kini, meski kemajuan yang mereka alami tengah menggiring mereka menuju kehancuran. Hancur seperti lapuknya papan-papan nama stasiun ini.

Lampu-lampu besar tak lagi semuanya menyala. Umur telah membuat beberapa diantaranya tak mampu lagi menyala. Beberapa masih mampu menerangi meski redup. Mataku mengamati setiap sisi stasiun. Tak ada warung makan yang terbuka. Hanya beberapa kios rokok saja. Pandanganku masih berkeliling. Ada beberapa penjual makanan gendong. Tak ada kehidupan kecuali mereka, ibu-ibu tua yang sedang terduduk lemah atau berjalan dalam gerak lambat. Pekat malam yang memuncak menyelimuti lelah, setelah sepanjang hari berjuang, tampaknya nasib memaksa mereka bertahan hingga selarut ini.

Kok ibu-ibu tua semuanya. Gumamku. Belum hilang rasa penasaranku, tangan istriku menarikku dan mendekati salah satu nenek yang berjualan makanan. Beliau terduduk lelah di samping gendongan wadah makanannya. Wajahnya sudah sangat tua. Mungkin yang tertua dari beberapa penjaja makanan yang tersisa sampai dinihari ini. Aku memandangnya. Berjuta rasa berbaur di dadaku. Wanita tua itu masih memegangi bakulnya yang sudah mengkilat. Lurik yang menempel di tubuhnya tampaknya tak lebih muda dari kain sarungnya. Lusuh, seperti bendera yang terlalu lama berkibar dan tak pernah diturunkan dari tiangnya. Warna aslinya sudah tak terlihat jelas. Hanya saja, beliau terlihat sangat bersih, pudar namun bersih. Ia tengah tersudut dalam kesepian. Padahal beberapa rekannya tengah sibuk melayani pembeli yang menghampiri mereka. Hanya dia yang terdiam sendiri.

Istriku menghampirinya.

“mbok jualan apa...?”

sejenak ia terkejut. Segurat senyum tulus menghiasi wajahnya

“nasi nak...sama ayam, ayo nak, masih anget...” matanya berbinar

“ya sudah mbok, nasinya dua yah, ayamnya empat ya mbok...”

“alhamdulillah... maturnuwun nak... sebentar yah ibu bungkusin”

belum pernah rasanya aku mendengar kalimat syukur yang diucapkan setulus ini.

“mbok jualan sama siapa mbok?” Tiar bertanya

“ya rame-rame sama temen-temen yang lain” si mbok melirik pedagang lainnya

“mbok berangkat sama mereka dari rumah?”

“lha ya ngga nak... rumah kita jauh-jauh, kita ya ketemunya disini saja... ayamnya empat ya nak?

“iya mbok empat saja..., lho jadi mbok kalo berangkat sendirian yah?”

“sekarang iya nak, tapi kalo dulu ada anaknya si mbok yang nemenin jualan jadi ada temen ngobrol sambil jalan ke sini”

“si mbok tinggal di mana?” aku menimpali

“deket terminal sana nak... hampir ke batang”

“jalan...? mbok jalan kaki? Kan jauh mbok...”

“lha emang nak mas ini tau dimana terminal?” si mbok tersenyum

“yah saya dulu pernah maen ke rumah temen di sana mbok... deket bhakti waluyo”

“lha iya deket situ rumahnya si mbok tuh... wah jangan-jangan kita pernah ketemu dulu...” si mbok tersenyum. aku juga tersenyum. Bukan karena mungkin pernah kenal, tapi membayangkan perjalanan delapan kilo yang ditempuh jalan kaki sambil menggendong bakul yang penuh.

“sekarang kemana anaknya mbok?” Tiar bertanya lagi

“dia sudah nikah... dibawa suaminya ke semarang, tapi yah wong nasibnya keturunan tukang bakul nasi, di sana juga dia jadi tukang nasi di stasiun juga nak... bantu nyari duit, suaminya kan cuma sopir angkot...” dia masih memilih potongan ayam terbaiknya untuk kami.

Malam terasa semakin dingin, menggigit pori-pori menusuk jauh ke dalam lapisan kulit. Sesekali batuk yang tertahan keluar dari mulut si Mbok tua.

“mbok jualan dari pagi sampe malem?” aku penasaran

“ngga nak, kalo pagi si mbok ngumpulin sampah plastik di pasar, baru sore-sore mbok ke stasiun, kalo lagi rame yah jam sepuluh mungkin sudah pulang, tapi kalo sepi begini yah sampe jam tiga juga belum habis dagangannya...” batuk semakin sering menyelingi suaranya yang melemah

“terus mbok besok pagi ke pasar juga... mbok kan lagi batuk gini?!” Tiar mulai tak terkendali

“lha iya... kalo batuk yo wajar, namanya juga sudah tua” dia tersenyum “yah si mbok kan butuh duit buat makan nak, kalo ga ngasih makan sendiri, siapa yang mau ngumpanin... oia ini semuanya empat belas ribu nak”

Istriku termenung memandang si Mbok tua yang tersenyum di depan kami. Tangannya memegang erat tanganku. Matanya berkaca-kaca. Akupun terdiam membayangkan betapa tak beruntungnya nasib yang menghinggapi kehidupan Mbok tua ini. Aku samasekali tak bisa bersuara. Tenggorokanku semakin panas tercekat. Rasanya mataku sudah basah. dan hampir tak bisa menahan air mata.

“nak ini...” si Mbok memegang tangan istriku

“oh iya Mbok...” ia mengambil bungkusan dari tangan si ibu. Membuka dompet dan mengeluarkan uang seratus ribuan.

“waah nak, uangnya yang kecil saja si Mbok gak ada kembalian...” ia berkata demikian sambil melirik rekannya sesama penjual nasi.

“ngga mbok...” Tiar menggenggam tangan si Mbok.

“Mbok ngga usah ngasih kembalian sama saya...”

“tapi lebihnya banyak banget nak...” sekilas kulihat wajah tua itu pucat

“ini rejekinya si Mbok, buat mbok semuanya...”

“tapi...”

“tapi... si mbok harus janji sama saya, nanti pulang naik becak yah... jangan jalan kaki... besok juga jangan jualan dulu... biar si Mbok sembuh dulu batuknya... Mbok mau kan..?” Tiar tampaknya sudah hampir tak mampu menahan air matanya

“alhamdulillah ya Allah Gustiiiii... makasih nak, makasih banyak, ya Allaaaah... semoga rejekinya banyak ya nak, berkah...” si Mbok menangis dan menggenggam uang diatas kepalanya.

“tapi Mbok janji yah...”

“iya cah ayu... nanti si mbok pulang naik becak... besok juga si Mbok ngga jualan dulu...”

sebentar malam pecah oleh suara kereta bisnis yang sedari tadi kami tunggu. Aku dan Tiar pamitan kepada si mbok tua. Tiar sempat memeluk dan mencium tangannya sebelum kembali ke kereta yang akan segera berangkat. Samar dari balik jendela buram aku melihat si Mbok bersujud dipelataran sebelum akhirnya mengemasi dagangannya.

Di dalam kereta yang mulai merayap perlahan, istriku membenamkan wajahnya di bahuku. Matanya semakin berkaca-kaca. Air mata yang ditahannya sejak berada di hadapan si mbok tua akhirnya tumpah ruah diatas sweater hitamnya. Aku hanya bisa memeluknya dan merasakan gejolak yang sama di dadaku. Beberapa saat setelah reda. Ia berbisik.

“mas lain kali kita naik kereta ini lagi kalo mudik ke Semarang...”

“kenapa...?”

“biar aku bisa lebih mensyukuri hidup mas...”

***