Rabu, 18 Juli 2012

Nia

-->
Pagi yang dingin. Malam sudah sampai di penghujung subuh. Langit yang gelap sedang perlahan memulai hari dengan cahaya fajar yang baru terlihat sekilas saja. Aku berjalan perlahan diantara pinggiran jalan desa ditemani embun yang hinggap di rerumputan yang perlahan-lahan membasahi sandal jepitku, menggoda kakiku dalam dinginnya pagi yang terasa semakin menusuk. Alhamdulillah, rasanya tak henti-henti kuucap syukur kepada-Nya sepanjang perjalanan pulang dari mesjid pagi ini. Udara segar, atmosfer penuh oksigen minus emisi kendaraan, sesuatu yang teramat jarang atau mungkin bahkan sesuatu yang mustahil kudapati di kawasan Industri tempat tinggalku.

Sebelum memasuki halaman rumah, penasaran kulihat lagi langit di sebelah timur dimana fajar mulai sedikit beranjak. Bulan yang terlambat menghilang masih terlihat terang, ditemani Venus dan dua bintang yang terang benderang. Sekali lagi membuat pagi itu terasa teramat sempurna untukku.
Bergegas aku memasuki rumah dan menuju kamarku. Semerbak melati sejenak menyergap penciumanku ketika kubuka pintu kamarku. Suara tilawah al qur’an perlahan memenuhi atmosfer hangat kamarku, di atas sajadah di samping ranjang pengantin kami, masih lengkap dengan mukena putihnya, kudapati istriku sedang mengaji, merdu mengalun menggetarkan perasaan. Aku tertegun, sebelum ini tak pernah kudengar suaranya ketika mengaji, ini kali pertama aku mendengar suaranya yang mengalun merdu, rasanya tak pernah kudengar nyanyian apapun yang lebih indah dari suara tilawahnya.

Ya, suara tilawah itu adalah suara Nia. Malam ini adalah malam pertama ia menjadi istriku, dan pagi ini adalah pagi pertama dalam hidupku dimana aku mendapati seorang wanita cantik sedang mengaji di kamarku. Sekali lagi dadaku berdegup merasakan euphoria luar biasa. Ia adalah istriku. Sebuah status yang baru saja semalam ini ia resmi menyandangnya, status barunya sebagai seorang istri. Aku tersenyum sendiri, perlahan rasa haru dan bahagia menghampiriku. Perlahan kulepas kemejaku dan duduk bersandarkan bantal di ranjang pengantinku, tepat di samping sajadah Nia. Kupejamkan mataku sembari meresapi lantunan suara istriku. Sungguh, sekali lagi berani kukatakan, aku pria paling bahagia di dunia.

Sejenak ketika aku hampir terbuai suara pagi yang tiba-tiba sunyi, kurasakan seseorang duduk di tepi tempat tidur. Kubuka mataku dan kudapati Nia dengan mukena putihnya tersenyum.
“masih ngantuk mas?”
“oh, ngga, mas lagi terbuai menikmati surga dunia”
“apa sih mas? Aneh ih… atau jangan-jangan mau gombalin aku yah?”
Perlahan ia meletakkan tangannya di dadaku. Kugenggam jemarinya dan kudekap erat didadaku.
“aku sedang merasakan euphoria luar biasa dek, kebahagiaan hari ini terasa sangat luar biasa. Mulai dari subuh yang segar, langit pagi yang luar biasa dan sambutan suaramu di kamar ini… “
Sejenak ia mengusap rambutku dan membetulkan kaosku seperti anak kecil. Sambil tersenyum ia kembali bersuara.
“itu sebetulnya biasa saja mas, tapi karena hatimu lagi bahagia, makanya jadi berasa istimewa”
“udara dan atmosfernya mungkin iya dek, tapi suaramu itu lho, tilawahmu itu betul betul baru pertama kutahu…”

Ia tak menjawab, perlahan ia bersandar manja di dadaku. Kurasakan detak jantungnya yang bergerak ritmis. Kukecup keningnya dan kubiarkan ia tetap memelukku. Di atas ranjang bersejarah bagi kami ini, sejenak kami berdialog dengan rasa sendiri sendiri dalam sepi. Semalam, kamar ini menjadi saksi malam pertama kami. Malam dimana Nia menyerahkan kesucian yang sepenuhnya ia berikan kepadaku, suaminya. Sebagai ungkapan rasa yang selama ini ia pelihara hanya untukku. Perlahan kurasakan butiran hangat menyentuh dadaku. Nia menangis di pelukanku.
“dek, kok nangis? Kenapa…?”
“gapapa mas”
“tapi kok nangis? Ada yang salah?”
“ngga mas, aku Cuma terlalu bahagia hari ini…”
“bahagia kenapa? Karena menjadi istriku..?”
Ia hanya mengangguk perlahan.
“kenapa kamu sebahagia itu dek?”
Nia terdiam
“apa karena aku seniormu di kampus? Karena aku kakak kelas yang kalian anggap hebat?”
Nia menggeleng perlahan
“Atau karena karirku yang cukup bagus?”
Nia menggeleng lagi
“atau karena semua pencapaianku selama ini?”
“bukan mas, bukan karena itu, Nia bahagia karena bisa menikah dengan Mas, tapi bukan itu semua alasannya”
“lantas apa alasannya dek?”
Nia menatapku dengan mata yang sembab, kuusap air mata yang mengalir di wajahnya.
“kenapa dek?”
“Nia bahagia, karena bisa menikah dengan orang yang tepat, orang yang menyayangi Nia dan yang penting…”
“apa yang penting dek…?”
“Nia menikahi orang yang Nia sayangi selama ini…”

Rasa haru dan bahagia kembali menyergap atmosfer kamar kami pagi ini. Kupeluk erat Nia, wanita yang sejak lama kudambakan untuk menjadi istriku.

***

Ia Benar Ada

Sebuah sore yang cerah di pinggiran kota Bogor. Darmaga memang sedang luar biasa hari ini, mendung tiba-tiba saja tak datang hari ini, apalagi hujan, jauh panggang dari api. Mentari seakan ingin menguasai langit. Semburat cahayanya mengisi setiap jengkal atmosfer, menjalar ke dalam gang-gang kecil yang penuh sesak diantara dinding-dinding kamar kosan mahasiswa. Seakan ingin memantapkan diri sebagai penguasa hari.
Aku masih tersudut di samping tempat tidur kecilku. Di pojok kamar sebuah rumah kontrakan sederhana yang kami kontrak beramai-ramai. Cahaya mentari tak sanggup menyapa isi kamarku. Ia hanya bisa mengintip lewat celah jendela yang sejajar dengan arah cahayanya. Dalam keremangan itu aku masih termenung di depan meja belajar kumal yang berisi tumpukan buku-buku tua dan setumpuk bahan kuliah warisan kakak kelas. Termodinamika, aliran fluida, satuan operasi, bahan penyegar, minyak lemak, oleokimia, pengemasan dan penyimpanan. Di sudut mejaku, radio warisan kakakku yang tak jelas suaranya masih setia menemani soreku yang remang itu. Muram. Bertolak belakang dengan langit menjelang ashar yang terang benderang.
Pikiranku dipenuhi dengan segala rumus hitungan irrasional. Hitungan ilmu pasti seburam angka satu dibagi dengan nol. Semisal pikiran sia-sia karena berusaha mengakarkan bilangan negatif. Entah apakah ini karena nasi uduk menu sarapanku setiap hari itu tak sanggup menyambungkan sinapsis di otakku ataukah karena justru masalah yang aku pikirkan samasekali tak membutuhkan banyak sel otak untuk memikirkannya.
Baiklah, untuk sederhananya kira-kira begini permasalahanku. Nasi uduk termurah di lingkar kampus ini ada tepat beberapa meter dekat kosanku. Harga per porsinya rata-rata tiga ribu rupiah (cuma sama gorengan dan sambel kacang). Ongkos pulang Bogor-Banjar sekali jalan adalah Rp. 42.000,-. Hari ini Sabtu dan Bapak memintaku pulang liburan ini hari Senin lusa. Lantas apa hubungannya nasi uduk, ongkos dan jadwal pulang?
Sejujurnya benang merahnya ada pada selembar kertas merah yang sedari ba’da dhuhur tadi terus kupandangi, yang sedari tadi siang sengaja aku simpan diantara tumpukan bahan kuliahku. Dan itu tak lain dan tak bukan adalah sisa uang bulananku yang tersisa. Selembar kertas merah yang sudah tak cerah lagi warnanya dengan nominal sepuluh ribu rupiah.
Aku menghela napas dalam, memang rasanya percuma saja memikirkan bagaimana caranya agar uang itu cukup untuk makan dua hari dan ongkos pulang. Percuma saja dipikirkan.
***
Mentari mungkin mengerti muramnya pikiranku. Sejenak kemudian ia turun dan terdengar suara adzan Ashar dari masjid Al Wustha. Sekelebat kulihat sesosok kepala muncul dari balik pintu kamarku.
“serius amat mikirnya bro? Amat aja gak serius” Mas Harun seniorku tiba-tiba muncul di balik pintu
“Lagi pusing mas”
“ashar aja dulu yuk, biar refresh dulu, tar abis shalat baru mikir lagi”
“siap!”

Sudahlah, aku berpaling dari uang lecek itu dan bersiap untuk mengambil wudhu dan segera shalat ashar ke masjid. Biarlah sejenak kulupakan tragedi kemanusiaan ini, biar kulaporkan kepada Rabb semesta alam yang memiliki segala sesuatu, karena Ia yang memiliki semesta dan isinya, maka apalah susahnya bagi-Nya untuk memberiku makan dua hari dan mengantarku pulang ke Banjar.

Aku mengikuti langkah Mas Harun keluar dari masjid. Entah baru berapa bulan aku mengenal mereka. Orang-orang yang tak sengaja bertemu dan karena merasa senasib akhirnya menjadi teman di kontrakan. Mereka juga yang mulai mengajakku tinggal satu kosan, mengenalkanku pada ngaji dan selalu mengajak shalat jamaah di masjid lima waktu. Mengisi acara luang kami di rumah kontrakan dengan kajian rutin dan kultum mingguan, masak bareng atau malah nonton bareng film seri naruto. Aku tak pernah tahu persis darimana mereka berasal dan bagaimana latar belakang keluarganya. Kesamaan nasib, visi hidup, kenyamanan dalam bersosialisasi, kemauan untuk saling mengingatkan, kesediaan untuk diingatkan dan kesamaan nasib menjadi anak rantau menjadi alasan kenapa kami akhirnya bergabung dalam satu keluarga baru.
Ketika memasuki rumah kontrakkan, aku mendapati Kang Ivan, seorang kakak kelasku sudah duduk manis di depan ruang TV.
“Assalamu’alaikum kang” Aku menyapa
“wa’alaikumussalam” jawabnya dengan ramah
“tumben kang ada apa?”
“pengen ketemu aja, udah lama ga ketemu, sekalian ada perlu mau minta bantuan”
“InsyaAllah kalau saya bisa mah, nanti saya bantu”
“begini, besok kita akan ada kunjungan eksternal nih, muhibah sekalian silaturahim, rencananya ke sekolah pertanian ke arah sukabumi, nah kita besok mau minta bantu dianterin, bisa?... besok free, kan?”
“iya kang, bisa! Tapi nganterin pake apaan?”
“kita ada mobil, tapi rencananya saya mau pake motor biar nyampe duluan, nah ntar yang bawa mobil ente aja, gimana?”
“ooh gitu, oke kang siap!!, buat akang mah saya ga tega nolaknya hehe...”
“alhamdulillah, besok saya samperin ke sini bada subuh yah, kalau sudah siap, saya permisi dulu yah” sejenak ia bersiap pergi tapi kemudian sebentar berpaling, “oia, temen-temen nisa bilang ini akadnya ijarah yah...”
“iya kang” jawabku singkat sambil menatap ia yang berjalan diantara tembok-tembok kosan yang sangat kusam. Seniorku itu pergi dengan wajah sumringah karena sudah mendapatkan tambahan bala bantuan untuk agenda dakwahnya ke eksternal kampus. Beberapa waktu kemudian aku baru ingat, ijarah itu apa yah?! Ah shit! Ini dia penyakitku, sering sok tahu dan lupa nanya! Tak apalah, besok kita tanyakan kepada seniorku itu.
Penyakit lupaku ini semakin parah ketika bertemu dengan selembar uang kucel merah di meja kamarku. Pertanyaan tentang ijarah seketika menguap dari otakku, berganti benang kusut yang semakin lama semakin terlihat seperti gumpalan awan, tak tersentuh dan tak terbaca alur kusutnya. Sore memusingkan itupun akhirnya berujung pada malam panjang penuh penderitaan dan kelaparan. Semuanya terjadi karena uang lecek itu akhirnya kubelikan semuanya untuk stok makanan pokok mahasiswa. Menu istimewa akhir bulan, masakan yang rasanya itu-itu saja, tapi disukai orang seluruh indonesia, dan tiada lain dan tiada bukan, ia adalah mie instant. Lumayan, tujuh bungkus, untuk dua hari.
***
Esok harinya, waktu terasa berjalan sangat cepat dan menggembirakan. Bukan karena stok mie tadi, tetapi karena perjalanannya gratis, makan siang gratis, dan wisata gratis buat melupakan stok mie instant di kamarku. Singkatnya semua berjalan dengan baik, rombongan sudah kujemput dan kuantar pulang dengan selamat. Semua orang bahagia. Kecuali satu hal, aku masih lupa menanyakan apa itu ijarah?!
Sore hari kembali menjelang persis seperti hari kemarin, cerah. Menjelang maghrib, kubersihkan diriku sejenak setelah semua keringatku mengering dan semua teman kontrakannku berteriak menyuruhku mandi karena tak tahan dengan aroma yang mereka cium dari badanku.
Ba’da maghrib, aku kembali tenggelam dalam-dalam dalam kekusutan pikiranku yang semakin menjadi. Mengingat tak sepeserpun uang tunai yang ada dalam dompet dan semua kantong celanaku. lebih parah lagi karena besok hari Senin. Hari dimana Bapak memintaku pulang liburan semester, membantu pekerjaan rumah, mengambil bekal untuk perkuliahan yang akan datang, sekalian evaluasi semester ini. Dunia terasa melebar, jarak Bogor-Banjar kurasakan mengembang seperti diameter jagat raya, terlihat seperti rentang yang tak mungkin tertempuh akal sehat.
Dalam kesepianku, Aku masih ingat ketika maghrib tadi aku berdo’a. Seperti yang diajarkan Bapak, Aku bersyukur untuk semua kebahagiaan yang kudapati hari ini, berterimakasih kepada-Nya untuk jalan-jalan gratisnya, makan siang gratis dengan nasi dan lauk yang tadinya kupikir takkan pernah kucicipi paling tidak dalam dua hari ke depan. Do’a panjangku kututup dengan permohonan tulus kepada-Nya untuk mengantarku pulang ke Banjar entah dengan cara bagaimana,
“Ya Rabb, Engkau pemilik semesta ini, pengendali seluruh galaksi yang bertebaran dalam diameter rentang jarak yang terus mengembang tak berujung, Engkau yang memberi kami semua rezeki, membagi makan untuk semua makhluk, Yang mengizinkan dan mengawasi berbagai pergerakan di alam semesta, maka apa susahnya bagi Engkau untuk memindahkan aku dari lingkar kampus ini, ke rumah...! rasanya tak seberat menggerakkan jupiter, atau menjaga jarak bumi agar tak mendekat ke matahari, Ya Rab, dengan segala kekuatanMu, berilah hamba jalan...”
Mungkin sedikit berlebihan, tapi aku tahu pasti, itu adalah kenyataan, tidak ada sulitnya untuk Ia memindahkan benda sebesar badanku dengan caraNya yang tepat, tanpa membuat orang susah, dan sama seperti pegadaian, menyelesaikan masalah tanpa masalah. Sedikit beban di kepalaku rasanya memudar dan hilang. Kuulangi do’a karanganku itu berkali-kali sehingga aku yakin bahwa aku benar-benar kecil dalam konstelasi jagat raya milik-Nya, sehingga masalahku ini bukanlah beban yang sulit Ia selesaikan, hanya saja mungkin Ia sedang merancang jalan terbaik untuk jadi perwujudan invisible hand-Nya.
“Assalamu’alaikum, lagi serius nih keliatannya,” seonggok eh sebuah atau tepatnya se... sekelebat kepala tiba-tiba muncul dari balik pintu kamarku dengan senyum tulusnya
“weits, kang ivan, bikin kaget aja, wa’alaikumussalam, ayo masuk kang, silakan duduk, aya naon deui yeuh...?”
“ini, mau nganterin titipan dari temen-temen nisa, katanya terimakasih sudah diantar, dan sesuai akad ijarah kemarin, ini ada titipan dari mereka”
ia menyodorkan amplop putih dengan senyum paling cerah yang pernah kulihat. Tiba-tiba aku teringat pertanyaan yang kemarin.
ijarah teh apaan sih kang, maklum saya mah baru mulai ngaji...”
Ia tersenyum lagi,
“hehehe, kamu mah... tau gitu saya ambil aja duitnya, kan ente gak ngerti artinya ijarah hahaha” ia terlihat seperti menggodaku yang sedang bingung, “ijarah teh semacam akad kerja, pengupahan, dalam kasus sekarang ini, temen temen nisa meminta jasa ente buat nganterin mereka, dengan imbalan uang yang sudah mereka siapkan, cuma saya juga minta maaf kemaren lupa ngasih tau nominalnya, harusnya saya kasih tau biar sama sama ridho antara ajir dan mustajirnya
“biar saya tebak kang, jadi saya ajir orang yang disewa tenaganya, dan mereka mustajir yah? Orang yang menyewa jasa ajir..?!”
“yaps anda betullll...” ia membereskan tempat duduknya sambil berdiri,
“besok minta dibahas saja masalah ijarah sama guru ngaji ente yah, saya mau balik dulu, masih banyak tugas kuliah yang harus dikejar”
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam”

Aku tak sadar kapan ia keluar dari kamarku, yang aku ingat saat itu kamarku tiba-tiba menjadi cerah berwarna seperti baru saja di cat. Meja kumalku ternyata tak kumal-kumal amat. Radio warisan kakakku suaranya terdengar lebih jernih, dan semuanya terjadi begitu saja otomatis dan sangat cepat, sebagai efek samping akibat nominal yang aku lihat setelah kusobek amplop titipan dari kang Ivan. Lebih dari cukup untuk ongkos pulang ke rumah. Dengan penuh syukur Aku terduduk di kasur kamarku, sekilas kulihat langit malam diantara celah jendela kusam kamarku. Langit malam ini hitam bertabur bintang. Sekali lagi aku yakin, jika Ia bisa dengan mudah mengatur konstelasi bintang-bintangnya, maka takkan sulit bagiNya untuk merencanakan perpindahan koordinatku dari lingkar kampus ke koordinat rumahku. Alhamdulillah.

=======================================================================
mengenang masa-masa sulit perekonomian endonesia bagian darmaga gang cangkir no 56 kamar pojok yang paling panjang :)



Anak-anak Alam

[pinggiran sungai Citanduy]

Alur berwarna kuning itu terlihat memanjang, berkelok diantara sela-sela rerumputan liar yang tebal. Hmmm. Masih seperti dulu, alur bekas roda sepeda itu masih ada. Denyut kehidupan di tempat ini masih mengandalkan kendaraan sederhana itu, sepeda kumbang. Tanggul Citanduy yang penuh berumput itu masih seperti dulu, hijau subur dengan dua alur berwarna kecoklatan di tengahnya. Itu adalah sisa jejak roda sepeda yang setiap hari bergantian melindas rerumputan.

“Saya akan menghitung sepuluh menit dengan stopwatch! Kalian harus berlari turun ke sisi selatan, naik lagi, terus turun ke sisi utara, dan naik lagi. Lakukan terus selama sepuluh menit. Dan begitu saya tiup peluit, berhenti dan diam di tempat”

Pria berwajah keras itu menatap mata anak-anak itu satu per satu, memastikan semuanya mendengarkan apa yang dia instruksikan.

“setelah itu, Saya akan tiup peluit lagi dan kalian mulai menghitung detak nadi masing-masing. Begitu tiupan peluit yang kedua, kalian berhenti dan ingat-ingat jumlah detak jantung kalian selama semenit itu...” Ia kembali mengambil jeda sebelum akhirnya berteriak
“kalian mengerti?!!”
“siapp!!! Mengerti pak!!” anak-anak itu membalas teriakannya.
Pria tua itupun menyiapkan peluit dan stopwatch tua di tangannya.
“siaaaap!!! Satu... dua... tigaaa...!!“ priiiittt!! Seolah tidak puas dengan teriakannya yang memekakkan telinga, pria tua antagonis itu pun meniup peluit sekuat tenaga.

Rombongan anak-anak itu pun menghambur menuruni tanggul, seperti sekawanan lebah yang terusik dari sarangnya, berlomba mengejar sang pengganggu. Mereka bersemangat menuruni tanggul dan kemudian berbalik arah, mendaki dan kemudian menuruni lereng tanggul di seberangnya. Mereka berlari bersemangat sekuat tenaga masing-masing. Aku tersenyum mendapati seorang bocah gendut yang tertinggal kecepatannya. Jarak yang ditempuhnya tertinggal setengah dari pelari tercepat. Menjelang sepuluh menit, ia masih berusaha bergerak lebih cepat, meski pergerakannya semakin limbung.

Prittt!!
Anak-anak itu pun berhenti dan berdiri di tempat berhenti masing-masing. Save by the bell, bocah gendut itu tersenyum, semuanya sudah berakhir.

Prittt!!
Mereka serempak memegang dada atau pergelangan tangan dan mulai menghitung.

Prittt!
Anak-anak itu pun akhirnya menghela napas panjang dan sebagian langsung duduk lemas menanti dipanggil namanya untuk setor angka.

***

Kringgg!! Suara kliningan sepeda membuyarkan konsentrasiku.
“permisi mas...” si Bapak tua di sepeda tersenyum ramah dan menyapaku
“monggo pak...”

Aku melirik kembali ke arah trek lari anak-anak tadi, semuanya telah hilang. Aku tersenyum menatap jalan menurun dari tanggul Citanduy. Bapak tua berwajah keras itu, rombongan anak-anak itu, dan bocah gendut itu. Mereka hilang. Aku hanya bisa mendapati angin semilir yang menyentuh ilalang dalam kesunyian. Namun semua kejadian itu masih terekam jelas dalam ingatanku, bahkan aku masih bisa mengingat detak jantung yang sangat cepat setelah tes itu. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk dilalui. Banyak hal terjadi diantara masa itu dan sekarang.

Setelah sekian waktu berlalu, rombongan anak-anak itu masih sering aku rindukan.

===================================
Mengenang acara rutin menjelang latihan silat semasa SMP

Doing Something Never Thought Before

Putaran waktu memang hanya milik-Nya. Tak terduga dan kadang irasional. Menuntun manusia menyusuri kejadian demi kejadian, menyusuri rentetan peristiwa yang lebih sering kita sebut dengan nama kehidupan. Terus berputar, penuh dengan kejutan, ketakterdugaan atau bahkan pengulangan, selayaknya deja vu. Siklus kehidupan yang kususuri malam ini teramat biasa pada awalnya, namun menjadi sesuatu yang luar biasa ketika sejenak aku terdiam dan merasakan sesuatu yang timbul dari alam bawah sadarku, secara tak sengaja, tak kentara, tapi semakin menguat secara perlahan.

Berawal dari sebuah forum di facebook yang dibuat oleh seorang teman lama. Teman yang sudah tidak pernah kutemui sejak sepuluh tahun lalu. Beberapa hari terakhir, anggota forum kami terus bertambah, dari satu, dua, hingga empat puluh satu orang teman lama kami berkumpul dan saling menyapa di forum ini. Menumpahkan segala rasa, haru, kangen, geli, dan menghangatkan kembali istilah-istilah lama yang dahulu pernah begitu akrab di telinga kami. Semua kuanggap biasa pada awalnya.

Sampai pada satu titik di malam ini, seorang dari temanku berkomentar...
“bener git, kangen masa sasapedahan, jajan ka Bi Nonok, mancing pake bala-bala hahahaha... Masa yang ga akan terlupakan git...”

Maka sejenak pikiranku kembali ke masa sembilan atau duabelas  tahun yang lalu. Atau mungkin lebih jauh dari itu. Ketika kami masih berseragam putih merah dan bahkan jauh sebelum kami mampu berkhayal memakai seragam putih biru. Sejenak aku berpikir, apa yang kami lakukan hari ini, chat, bercengkrama di facebook dan berkomunikasi tanpa dibatasi jarak, adalah sesuatu yang biasa hari ini, tapi tak pernah terbayangkan dan sesuatu yang sangat keren jika dibayangkan dengan kacamata putih merah kami saat itu. It’s Magic!

Maka sejenak pikiranku melayang pada sebuah bangunan SD tua, dengan velg mobil tua dan besi pemukul berkarat sebagai bel-nya. Bi Nonok sang penjaja kupat tahu dan gorengan di ujung tembok pagar kelas enam, Bi Aah yang setia menjual es dawet di pojok desa, tepat di depan kelas satu dan Nini Kawi, si Nenek yang sedikit kurang sehat pikirannya, penjual makanan kecil favorit anak-anak.

Latar ini sudah lama sekali kutinggalkan, terjadi pada saat uang jajanku masih ada nominal dua puluh lima rupiahnya, saat harga kupat tahu tak lebih dari lima puluh rupiah, es dawet menu spesial pakai roti hanya seratus rupiah dan semangkok bakso dorong yang paling enak masih bisa dibeli dengan harga seratus lima puluh atau paling mahal dua ratus rupiah saja. Nah lho, kenapa tolok ukurnya harga makanan semua? Jawabannya simpel saja, karena itu, jajanan yang paling sering ditemui di depan sekolah tua kami.

Kesan tua dalam benakku akan semakin bertambah citarasa tua-nya jika membayangkan sepeda onthel milik Pak Adeng, Kepala sekolah kami, yang pastinya akan selalu terpajang di depan ruang guru. Beliau memiliki dua sepeda tua, satu jenis sepeda onta, dengan palang melengkung, dan satu sepeda dobel palang, yang tingginya minta ampun. Keduanya selalu sangat bersih, kinclong dan kuno. Menambah kuat citarasa pengabdian seorang guru senior.

Ketika pikiranku tengah berputar pada masa itu dan mencoba berpikir dengan pola pikirku di masa itu, maka laptop di depanku, yang sedang kupakai untuk menulis note ini, adalah sebuah keajaiban tak terbayangkan pada masa itu, jangankan memakainya, cara menyalakannya pun mungkin tak aku tahu. Teknologi penghasil tulisan terbaik saat itu hanyalah mesin tik tua. Dan duplikasinya adalah dengan menyelipkan kertas karbon diantara dua kertas itu. Sistem duplikasi maksimal lima lembar, dan zero defect, karena kalau terjadi kesalahan, kertas yang dibelakang karbon akan sangat sulit di-tipe-x. Begitu sederhananya saat itu, sehingga suatu hari aku pernah merasa bersalah ketika mengumpulkan tugas membuat puisi dengan tulisan hasil ketikan mesin tik tua Bapakku. Lembar kertas itu terlalu rapi, dan tidak terlihat selayaknya tugas anak SD, tapi terlihat seperti lembar buku yang terlepas. Aku takut itu dikira bukan buatanku. Menggelikan.

Menerawang masa-masa itu, maka siapa sangka jika malam ini, kami bisa mencapai titik ini? Seorang anggota forum kami online dari thamrin city, seorang lagi berkomentar dari sebuah tempat di Saudi Arabia, seorang lainnya berkomentar dari kapal pesiar yang sedang berlayar menuju Sydney. Dan sisanya, tersebar di beberapa kota besar. Aaaah. Satu hal yang kami tahu, rasanya sangat luar biasa! seolah tulisan kami di forum ini menyampaikan perasaan yang dirasakan saat mengetiknya. Kami tersenyum, tertawa, haru, geli dan bahagia.

Satu hal yang kami semua yakini, semua itu terjadi bukan karena kebetulan. Bukan karena tarikan lingkaran takdir semata, melainkan karena satu hal, yaitu MIMPI. Sejak dahulu kami bertekad untuk memperbaiki hidup.. meski tak pernah terucapkan, tidak pernah dituliskan, tidak pernah dijabarkan secara detail, namun semuanya tercatat dengan jelas di benak kami, semua definisi tentang perjuangan, harapan, impian dan keberhasilan. Hanya itu bahan bakar yang membawa kami keluar dari pinggiran kota kecil itu, dan berani berdiri diatas kaki sendiri, menghadapi putaran waktu, mengikuti arusnya, dan mempertahankan semuanya tetap terkendali melawan gravitasi, menuju semua cita-cita yang sudah terlanjur kami gantungkan di langit tinggi yang teramat jauh. Semoga Tuhan memeluk impian kami.