Rabu, 18 Juli 2012

Ia Benar Ada

Sebuah sore yang cerah di pinggiran kota Bogor. Darmaga memang sedang luar biasa hari ini, mendung tiba-tiba saja tak datang hari ini, apalagi hujan, jauh panggang dari api. Mentari seakan ingin menguasai langit. Semburat cahayanya mengisi setiap jengkal atmosfer, menjalar ke dalam gang-gang kecil yang penuh sesak diantara dinding-dinding kamar kosan mahasiswa. Seakan ingin memantapkan diri sebagai penguasa hari.
Aku masih tersudut di samping tempat tidur kecilku. Di pojok kamar sebuah rumah kontrakan sederhana yang kami kontrak beramai-ramai. Cahaya mentari tak sanggup menyapa isi kamarku. Ia hanya bisa mengintip lewat celah jendela yang sejajar dengan arah cahayanya. Dalam keremangan itu aku masih termenung di depan meja belajar kumal yang berisi tumpukan buku-buku tua dan setumpuk bahan kuliah warisan kakak kelas. Termodinamika, aliran fluida, satuan operasi, bahan penyegar, minyak lemak, oleokimia, pengemasan dan penyimpanan. Di sudut mejaku, radio warisan kakakku yang tak jelas suaranya masih setia menemani soreku yang remang itu. Muram. Bertolak belakang dengan langit menjelang ashar yang terang benderang.
Pikiranku dipenuhi dengan segala rumus hitungan irrasional. Hitungan ilmu pasti seburam angka satu dibagi dengan nol. Semisal pikiran sia-sia karena berusaha mengakarkan bilangan negatif. Entah apakah ini karena nasi uduk menu sarapanku setiap hari itu tak sanggup menyambungkan sinapsis di otakku ataukah karena justru masalah yang aku pikirkan samasekali tak membutuhkan banyak sel otak untuk memikirkannya.
Baiklah, untuk sederhananya kira-kira begini permasalahanku. Nasi uduk termurah di lingkar kampus ini ada tepat beberapa meter dekat kosanku. Harga per porsinya rata-rata tiga ribu rupiah (cuma sama gorengan dan sambel kacang). Ongkos pulang Bogor-Banjar sekali jalan adalah Rp. 42.000,-. Hari ini Sabtu dan Bapak memintaku pulang liburan ini hari Senin lusa. Lantas apa hubungannya nasi uduk, ongkos dan jadwal pulang?
Sejujurnya benang merahnya ada pada selembar kertas merah yang sedari ba’da dhuhur tadi terus kupandangi, yang sedari tadi siang sengaja aku simpan diantara tumpukan bahan kuliahku. Dan itu tak lain dan tak bukan adalah sisa uang bulananku yang tersisa. Selembar kertas merah yang sudah tak cerah lagi warnanya dengan nominal sepuluh ribu rupiah.
Aku menghela napas dalam, memang rasanya percuma saja memikirkan bagaimana caranya agar uang itu cukup untuk makan dua hari dan ongkos pulang. Percuma saja dipikirkan.
***
Mentari mungkin mengerti muramnya pikiranku. Sejenak kemudian ia turun dan terdengar suara adzan Ashar dari masjid Al Wustha. Sekelebat kulihat sesosok kepala muncul dari balik pintu kamarku.
“serius amat mikirnya bro? Amat aja gak serius” Mas Harun seniorku tiba-tiba muncul di balik pintu
“Lagi pusing mas”
“ashar aja dulu yuk, biar refresh dulu, tar abis shalat baru mikir lagi”
“siap!”

Sudahlah, aku berpaling dari uang lecek itu dan bersiap untuk mengambil wudhu dan segera shalat ashar ke masjid. Biarlah sejenak kulupakan tragedi kemanusiaan ini, biar kulaporkan kepada Rabb semesta alam yang memiliki segala sesuatu, karena Ia yang memiliki semesta dan isinya, maka apalah susahnya bagi-Nya untuk memberiku makan dua hari dan mengantarku pulang ke Banjar.

Aku mengikuti langkah Mas Harun keluar dari masjid. Entah baru berapa bulan aku mengenal mereka. Orang-orang yang tak sengaja bertemu dan karena merasa senasib akhirnya menjadi teman di kontrakan. Mereka juga yang mulai mengajakku tinggal satu kosan, mengenalkanku pada ngaji dan selalu mengajak shalat jamaah di masjid lima waktu. Mengisi acara luang kami di rumah kontrakan dengan kajian rutin dan kultum mingguan, masak bareng atau malah nonton bareng film seri naruto. Aku tak pernah tahu persis darimana mereka berasal dan bagaimana latar belakang keluarganya. Kesamaan nasib, visi hidup, kenyamanan dalam bersosialisasi, kemauan untuk saling mengingatkan, kesediaan untuk diingatkan dan kesamaan nasib menjadi anak rantau menjadi alasan kenapa kami akhirnya bergabung dalam satu keluarga baru.
Ketika memasuki rumah kontrakkan, aku mendapati Kang Ivan, seorang kakak kelasku sudah duduk manis di depan ruang TV.
“Assalamu’alaikum kang” Aku menyapa
“wa’alaikumussalam” jawabnya dengan ramah
“tumben kang ada apa?”
“pengen ketemu aja, udah lama ga ketemu, sekalian ada perlu mau minta bantuan”
“InsyaAllah kalau saya bisa mah, nanti saya bantu”
“begini, besok kita akan ada kunjungan eksternal nih, muhibah sekalian silaturahim, rencananya ke sekolah pertanian ke arah sukabumi, nah kita besok mau minta bantu dianterin, bisa?... besok free, kan?”
“iya kang, bisa! Tapi nganterin pake apaan?”
“kita ada mobil, tapi rencananya saya mau pake motor biar nyampe duluan, nah ntar yang bawa mobil ente aja, gimana?”
“ooh gitu, oke kang siap!!, buat akang mah saya ga tega nolaknya hehe...”
“alhamdulillah, besok saya samperin ke sini bada subuh yah, kalau sudah siap, saya permisi dulu yah” sejenak ia bersiap pergi tapi kemudian sebentar berpaling, “oia, temen-temen nisa bilang ini akadnya ijarah yah...”
“iya kang” jawabku singkat sambil menatap ia yang berjalan diantara tembok-tembok kosan yang sangat kusam. Seniorku itu pergi dengan wajah sumringah karena sudah mendapatkan tambahan bala bantuan untuk agenda dakwahnya ke eksternal kampus. Beberapa waktu kemudian aku baru ingat, ijarah itu apa yah?! Ah shit! Ini dia penyakitku, sering sok tahu dan lupa nanya! Tak apalah, besok kita tanyakan kepada seniorku itu.
Penyakit lupaku ini semakin parah ketika bertemu dengan selembar uang kucel merah di meja kamarku. Pertanyaan tentang ijarah seketika menguap dari otakku, berganti benang kusut yang semakin lama semakin terlihat seperti gumpalan awan, tak tersentuh dan tak terbaca alur kusutnya. Sore memusingkan itupun akhirnya berujung pada malam panjang penuh penderitaan dan kelaparan. Semuanya terjadi karena uang lecek itu akhirnya kubelikan semuanya untuk stok makanan pokok mahasiswa. Menu istimewa akhir bulan, masakan yang rasanya itu-itu saja, tapi disukai orang seluruh indonesia, dan tiada lain dan tiada bukan, ia adalah mie instant. Lumayan, tujuh bungkus, untuk dua hari.
***
Esok harinya, waktu terasa berjalan sangat cepat dan menggembirakan. Bukan karena stok mie tadi, tetapi karena perjalanannya gratis, makan siang gratis, dan wisata gratis buat melupakan stok mie instant di kamarku. Singkatnya semua berjalan dengan baik, rombongan sudah kujemput dan kuantar pulang dengan selamat. Semua orang bahagia. Kecuali satu hal, aku masih lupa menanyakan apa itu ijarah?!
Sore hari kembali menjelang persis seperti hari kemarin, cerah. Menjelang maghrib, kubersihkan diriku sejenak setelah semua keringatku mengering dan semua teman kontrakannku berteriak menyuruhku mandi karena tak tahan dengan aroma yang mereka cium dari badanku.
Ba’da maghrib, aku kembali tenggelam dalam-dalam dalam kekusutan pikiranku yang semakin menjadi. Mengingat tak sepeserpun uang tunai yang ada dalam dompet dan semua kantong celanaku. lebih parah lagi karena besok hari Senin. Hari dimana Bapak memintaku pulang liburan semester, membantu pekerjaan rumah, mengambil bekal untuk perkuliahan yang akan datang, sekalian evaluasi semester ini. Dunia terasa melebar, jarak Bogor-Banjar kurasakan mengembang seperti diameter jagat raya, terlihat seperti rentang yang tak mungkin tertempuh akal sehat.
Dalam kesepianku, Aku masih ingat ketika maghrib tadi aku berdo’a. Seperti yang diajarkan Bapak, Aku bersyukur untuk semua kebahagiaan yang kudapati hari ini, berterimakasih kepada-Nya untuk jalan-jalan gratisnya, makan siang gratis dengan nasi dan lauk yang tadinya kupikir takkan pernah kucicipi paling tidak dalam dua hari ke depan. Do’a panjangku kututup dengan permohonan tulus kepada-Nya untuk mengantarku pulang ke Banjar entah dengan cara bagaimana,
“Ya Rabb, Engkau pemilik semesta ini, pengendali seluruh galaksi yang bertebaran dalam diameter rentang jarak yang terus mengembang tak berujung, Engkau yang memberi kami semua rezeki, membagi makan untuk semua makhluk, Yang mengizinkan dan mengawasi berbagai pergerakan di alam semesta, maka apa susahnya bagi Engkau untuk memindahkan aku dari lingkar kampus ini, ke rumah...! rasanya tak seberat menggerakkan jupiter, atau menjaga jarak bumi agar tak mendekat ke matahari, Ya Rab, dengan segala kekuatanMu, berilah hamba jalan...”
Mungkin sedikit berlebihan, tapi aku tahu pasti, itu adalah kenyataan, tidak ada sulitnya untuk Ia memindahkan benda sebesar badanku dengan caraNya yang tepat, tanpa membuat orang susah, dan sama seperti pegadaian, menyelesaikan masalah tanpa masalah. Sedikit beban di kepalaku rasanya memudar dan hilang. Kuulangi do’a karanganku itu berkali-kali sehingga aku yakin bahwa aku benar-benar kecil dalam konstelasi jagat raya milik-Nya, sehingga masalahku ini bukanlah beban yang sulit Ia selesaikan, hanya saja mungkin Ia sedang merancang jalan terbaik untuk jadi perwujudan invisible hand-Nya.
“Assalamu’alaikum, lagi serius nih keliatannya,” seonggok eh sebuah atau tepatnya se... sekelebat kepala tiba-tiba muncul dari balik pintu kamarku dengan senyum tulusnya
“weits, kang ivan, bikin kaget aja, wa’alaikumussalam, ayo masuk kang, silakan duduk, aya naon deui yeuh...?”
“ini, mau nganterin titipan dari temen-temen nisa, katanya terimakasih sudah diantar, dan sesuai akad ijarah kemarin, ini ada titipan dari mereka”
ia menyodorkan amplop putih dengan senyum paling cerah yang pernah kulihat. Tiba-tiba aku teringat pertanyaan yang kemarin.
ijarah teh apaan sih kang, maklum saya mah baru mulai ngaji...”
Ia tersenyum lagi,
“hehehe, kamu mah... tau gitu saya ambil aja duitnya, kan ente gak ngerti artinya ijarah hahaha” ia terlihat seperti menggodaku yang sedang bingung, “ijarah teh semacam akad kerja, pengupahan, dalam kasus sekarang ini, temen temen nisa meminta jasa ente buat nganterin mereka, dengan imbalan uang yang sudah mereka siapkan, cuma saya juga minta maaf kemaren lupa ngasih tau nominalnya, harusnya saya kasih tau biar sama sama ridho antara ajir dan mustajirnya
“biar saya tebak kang, jadi saya ajir orang yang disewa tenaganya, dan mereka mustajir yah? Orang yang menyewa jasa ajir..?!”
“yaps anda betullll...” ia membereskan tempat duduknya sambil berdiri,
“besok minta dibahas saja masalah ijarah sama guru ngaji ente yah, saya mau balik dulu, masih banyak tugas kuliah yang harus dikejar”
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam”

Aku tak sadar kapan ia keluar dari kamarku, yang aku ingat saat itu kamarku tiba-tiba menjadi cerah berwarna seperti baru saja di cat. Meja kumalku ternyata tak kumal-kumal amat. Radio warisan kakakku suaranya terdengar lebih jernih, dan semuanya terjadi begitu saja otomatis dan sangat cepat, sebagai efek samping akibat nominal yang aku lihat setelah kusobek amplop titipan dari kang Ivan. Lebih dari cukup untuk ongkos pulang ke rumah. Dengan penuh syukur Aku terduduk di kasur kamarku, sekilas kulihat langit malam diantara celah jendela kusam kamarku. Langit malam ini hitam bertabur bintang. Sekali lagi aku yakin, jika Ia bisa dengan mudah mengatur konstelasi bintang-bintangnya, maka takkan sulit bagiNya untuk merencanakan perpindahan koordinatku dari lingkar kampus ke koordinat rumahku. Alhamdulillah.

=======================================================================
mengenang masa-masa sulit perekonomian endonesia bagian darmaga gang cangkir no 56 kamar pojok yang paling panjang :)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar