Sebuah sore
yang cerah di pinggiran kota Bogor. Darmaga memang sedang luar biasa hari ini,
mendung tiba-tiba saja tak datang hari ini, apalagi hujan, jauh panggang dari
api. Mentari seakan ingin menguasai langit. Semburat cahayanya mengisi setiap
jengkal atmosfer, menjalar ke dalam gang-gang kecil yang penuh sesak diantara
dinding-dinding kamar kosan mahasiswa. Seakan ingin memantapkan diri sebagai
penguasa hari.
Aku
masih tersudut di samping tempat tidur kecilku. Di pojok kamar sebuah rumah
kontrakan sederhana yang kami kontrak beramai-ramai. Cahaya mentari tak sanggup
menyapa isi kamarku. Ia hanya bisa mengintip lewat celah jendela yang sejajar
dengan arah cahayanya. Dalam keremangan itu aku masih termenung di depan meja belajar
kumal yang berisi tumpukan buku-buku tua dan setumpuk bahan kuliah warisan
kakak kelas. Termodinamika, aliran fluida, satuan operasi, bahan penyegar,
minyak lemak, oleokimia, pengemasan dan penyimpanan. Di sudut mejaku, radio
warisan kakakku yang tak jelas suaranya masih setia menemani soreku yang remang
itu. Muram. Bertolak belakang dengan langit menjelang ashar yang terang
benderang.
Pikiranku
dipenuhi dengan segala rumus hitungan irrasional. Hitungan ilmu pasti seburam
angka satu dibagi dengan nol. Semisal pikiran sia-sia karena berusaha
mengakarkan bilangan negatif. Entah apakah ini karena nasi uduk menu sarapanku
setiap hari itu tak sanggup menyambungkan sinapsis di otakku ataukah karena
justru masalah yang aku pikirkan samasekali tak membutuhkan banyak sel otak
untuk memikirkannya.
Baiklah,
untuk sederhananya kira-kira begini permasalahanku. Nasi uduk termurah di
lingkar kampus ini ada tepat beberapa meter dekat kosanku. Harga per porsinya
rata-rata tiga ribu rupiah (cuma sama gorengan dan sambel kacang). Ongkos
pulang Bogor-Banjar sekali jalan adalah Rp. 42.000,-. Hari ini Sabtu dan Bapak
memintaku pulang liburan ini hari Senin lusa. Lantas apa hubungannya nasi uduk,
ongkos dan jadwal pulang?
Sejujurnya
benang merahnya ada pada selembar kertas merah yang sedari ba’da dhuhur tadi
terus kupandangi, yang sedari tadi siang sengaja aku simpan diantara tumpukan
bahan kuliahku. Dan itu tak lain dan tak bukan adalah sisa uang bulananku yang
tersisa. Selembar kertas merah yang sudah tak cerah lagi warnanya dengan
nominal sepuluh ribu rupiah.
Aku
menghela napas dalam, memang rasanya percuma saja memikirkan bagaimana caranya
agar uang itu cukup untuk makan dua hari dan ongkos pulang. Percuma saja
dipikirkan.
***
Mentari
mungkin mengerti muramnya pikiranku. Sejenak kemudian ia turun dan terdengar
suara adzan Ashar dari masjid Al Wustha. Sekelebat kulihat sesosok kepala
muncul dari balik pintu kamarku.
“serius
amat mikirnya bro? Amat aja gak serius” Mas Harun seniorku tiba-tiba muncul di
balik pintu
“Lagi
pusing mas”
“ashar
aja dulu yuk, biar refresh dulu, tar abis shalat baru mikir lagi”
“siap!”
Sudahlah,
aku berpaling dari uang lecek itu dan bersiap untuk mengambil wudhu dan segera
shalat ashar ke masjid. Biarlah sejenak kulupakan tragedi kemanusiaan ini, biar
kulaporkan kepada Rabb semesta alam yang memiliki segala sesuatu, karena Ia
yang memiliki semesta dan isinya, maka apalah susahnya bagi-Nya untuk memberiku
makan dua hari dan mengantarku pulang ke Banjar.
Aku
mengikuti langkah Mas Harun keluar dari masjid. Entah baru berapa bulan aku
mengenal mereka. Orang-orang yang tak sengaja bertemu dan karena merasa senasib
akhirnya menjadi teman di kontrakan. Mereka juga yang mulai mengajakku tinggal
satu kosan, mengenalkanku pada ngaji dan selalu mengajak shalat jamaah di
masjid lima waktu. Mengisi acara luang kami di rumah kontrakan dengan kajian
rutin dan kultum mingguan, masak bareng atau malah nonton bareng film seri
naruto. Aku tak pernah tahu persis darimana mereka berasal dan bagaimana latar
belakang keluarganya. Kesamaan nasib, visi hidup, kenyamanan dalam
bersosialisasi, kemauan untuk saling mengingatkan, kesediaan untuk diingatkan
dan kesamaan nasib menjadi anak rantau menjadi alasan kenapa kami akhirnya
bergabung dalam satu keluarga baru.
Ketika
memasuki rumah kontrakkan, aku mendapati Kang Ivan, seorang kakak kelasku sudah
duduk manis di depan ruang TV.
“Assalamu’alaikum
kang” Aku menyapa
“wa’alaikumussalam”
jawabnya dengan ramah
“tumben
kang ada apa?”
“pengen
ketemu aja, udah lama ga ketemu, sekalian ada perlu mau minta bantuan”
“InsyaAllah
kalau saya bisa mah, nanti saya bantu”
“begini,
besok kita akan ada kunjungan eksternal nih, muhibah sekalian silaturahim,
rencananya ke sekolah pertanian ke arah sukabumi, nah kita besok mau minta
bantu dianterin, bisa?... besok free, kan?”
“iya
kang, bisa! Tapi nganterin pake apaan?”
“kita
ada mobil, tapi rencananya saya mau pake motor biar nyampe duluan, nah ntar
yang bawa mobil ente aja, gimana?”
“ooh
gitu, oke kang siap!!, buat akang mah saya ga tega nolaknya hehe...”
“alhamdulillah,
besok saya samperin ke sini bada subuh yah, kalau sudah siap, saya permisi dulu
yah” sejenak ia bersiap pergi tapi kemudian sebentar berpaling, “oia,
temen-temen nisa bilang ini akadnya ijarah yah...”
“iya
kang” jawabku singkat sambil menatap ia yang berjalan diantara tembok-tembok
kosan yang sangat kusam. Seniorku itu pergi dengan wajah sumringah karena sudah
mendapatkan tambahan bala bantuan untuk agenda dakwahnya ke eksternal kampus.
Beberapa waktu kemudian aku baru ingat, ijarah itu apa yah?! Ah shit!
Ini dia penyakitku, sering sok tahu dan lupa nanya! Tak apalah, besok kita
tanyakan kepada seniorku itu.
Penyakit
lupaku ini semakin parah ketika bertemu dengan selembar uang kucel merah di
meja kamarku. Pertanyaan tentang ijarah seketika menguap dari otakku,
berganti benang kusut yang semakin lama semakin terlihat seperti gumpalan awan,
tak tersentuh dan tak terbaca alur kusutnya. Sore memusingkan itupun akhirnya
berujung pada malam panjang penuh penderitaan dan kelaparan. Semuanya terjadi
karena uang lecek itu akhirnya kubelikan semuanya untuk stok makanan pokok
mahasiswa. Menu istimewa akhir bulan, masakan yang rasanya itu-itu saja, tapi
disukai orang seluruh indonesia, dan tiada lain dan tiada bukan, ia adalah mie
instant. Lumayan, tujuh bungkus, untuk dua hari.
***
Esok
harinya, waktu terasa berjalan sangat cepat dan menggembirakan. Bukan karena
stok mie tadi, tetapi karena perjalanannya gratis, makan siang gratis, dan
wisata gratis buat melupakan stok mie instant di kamarku. Singkatnya semua
berjalan dengan baik, rombongan sudah kujemput dan kuantar pulang dengan
selamat. Semua orang bahagia. Kecuali satu hal, aku masih lupa menanyakan apa
itu ijarah?!
Sore
hari kembali menjelang persis seperti hari kemarin, cerah. Menjelang maghrib,
kubersihkan diriku sejenak setelah semua keringatku mengering dan semua teman
kontrakannku berteriak menyuruhku mandi karena tak tahan dengan aroma yang
mereka cium dari badanku.
Ba’da
maghrib, aku kembali tenggelam dalam-dalam dalam kekusutan pikiranku yang
semakin menjadi. Mengingat tak sepeserpun uang tunai yang ada dalam dompet dan
semua kantong celanaku. lebih parah lagi karena besok hari Senin. Hari dimana
Bapak memintaku pulang liburan semester, membantu pekerjaan rumah, mengambil
bekal untuk perkuliahan yang akan datang, sekalian evaluasi semester ini. Dunia
terasa melebar, jarak Bogor-Banjar kurasakan mengembang seperti diameter jagat
raya, terlihat seperti rentang yang tak mungkin tertempuh akal sehat.
Dalam
kesepianku, Aku masih ingat ketika maghrib tadi aku berdo’a. Seperti yang
diajarkan Bapak, Aku bersyukur untuk semua kebahagiaan yang kudapati hari ini,
berterimakasih kepada-Nya untuk jalan-jalan gratisnya, makan siang gratis
dengan nasi dan lauk yang tadinya kupikir takkan pernah kucicipi paling tidak
dalam dua hari ke depan. Do’a panjangku kututup dengan permohonan tulus
kepada-Nya untuk mengantarku pulang ke Banjar entah dengan cara bagaimana,
“Ya
Rabb, Engkau pemilik semesta ini, pengendali seluruh galaksi yang bertebaran
dalam diameter rentang jarak yang terus mengembang tak berujung, Engkau yang
memberi kami semua rezeki, membagi makan untuk semua makhluk, Yang mengizinkan
dan mengawasi berbagai pergerakan di alam semesta, maka apa susahnya bagi
Engkau untuk memindahkan aku dari lingkar kampus ini, ke rumah...! rasanya tak
seberat menggerakkan jupiter, atau menjaga jarak bumi agar tak mendekat ke
matahari, Ya Rab, dengan segala kekuatanMu, berilah hamba jalan...”
Mungkin
sedikit berlebihan, tapi aku tahu pasti, itu adalah kenyataan, tidak ada
sulitnya untuk Ia memindahkan benda sebesar badanku dengan caraNya yang tepat,
tanpa membuat orang susah, dan sama seperti pegadaian, menyelesaikan masalah
tanpa masalah. Sedikit beban di kepalaku rasanya memudar dan hilang. Kuulangi
do’a karanganku itu berkali-kali sehingga aku yakin bahwa aku benar-benar kecil
dalam konstelasi jagat raya milik-Nya, sehingga masalahku ini bukanlah beban
yang sulit Ia selesaikan, hanya saja mungkin Ia sedang merancang jalan terbaik
untuk jadi perwujudan invisible hand-Nya.
“Assalamu’alaikum,
lagi serius nih keliatannya,” seonggok eh sebuah atau tepatnya se... sekelebat
kepala tiba-tiba muncul dari balik pintu kamarku dengan senyum tulusnya
“weits,
kang ivan, bikin kaget aja, wa’alaikumussalam, ayo masuk kang, silakan duduk,
aya naon deui yeuh...?”
“ini,
mau nganterin titipan dari temen-temen nisa, katanya terimakasih sudah diantar,
dan sesuai akad ijarah kemarin, ini ada titipan dari mereka”
ia
menyodorkan amplop putih dengan senyum paling cerah yang pernah kulihat.
Tiba-tiba aku teringat pertanyaan yang kemarin.
“ijarah
teh apaan sih kang, maklum saya mah baru mulai ngaji...”
Ia
tersenyum lagi,
“hehehe,
kamu mah... tau gitu saya ambil aja duitnya, kan ente gak ngerti artinya ijarah
hahaha” ia terlihat seperti menggodaku yang sedang bingung, “ijarah teh
semacam akad kerja, pengupahan, dalam kasus sekarang ini, temen temen nisa
meminta jasa ente buat nganterin mereka, dengan imbalan uang yang sudah mereka
siapkan, cuma saya juga minta maaf kemaren lupa ngasih tau nominalnya, harusnya
saya kasih tau biar sama sama ridho antara ajir dan mustajirnya”
“biar
saya tebak kang, jadi saya ajir orang yang disewa tenaganya, dan mereka mustajir
yah? Orang yang menyewa jasa ajir..?!”
“yaps
anda betullll...” ia membereskan tempat duduknya sambil berdiri,
“besok
minta dibahas saja masalah ijarah sama guru ngaji ente yah, saya mau
balik dulu, masih banyak tugas kuliah yang harus dikejar”
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam”
Aku
tak sadar kapan ia keluar dari kamarku, yang aku ingat saat itu kamarku
tiba-tiba menjadi cerah berwarna seperti baru saja di cat. Meja kumalku
ternyata tak kumal-kumal amat. Radio warisan kakakku suaranya terdengar lebih
jernih, dan semuanya terjadi begitu saja otomatis dan sangat cepat, sebagai
efek samping akibat nominal yang aku lihat setelah kusobek amplop titipan dari
kang Ivan. Lebih dari cukup untuk ongkos pulang ke rumah. Dengan penuh syukur
Aku terduduk di kasur kamarku, sekilas kulihat langit malam diantara celah
jendela kusam kamarku. Langit malam ini hitam bertabur bintang. Sekali lagi aku
yakin, jika Ia bisa dengan mudah mengatur konstelasi bintang-bintangnya, maka
takkan sulit bagiNya untuk merencanakan perpindahan koordinatku dari lingkar
kampus ke koordinat rumahku. Alhamdulillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar