Sabtu, 13 November 2010

Anak Dekil di Kereta

Cahaya matahari musim kemarau memang tiada duanya. Panas terik bercampur udara kering semakin akrab menemani hari-hari gersang pinggiran ibukota. Hari ini, panas matahari tampaknya semakin menggila saja. Memanaskan udara bebas. Menaikkan suhu lingkungan, dan tentunya pada akhirnya menaikkan suhu tubuh manusia. Aku mengeluh. Tubuhku rasanya sudah letih tak tertahankan, berkeringat dan hampir dehidrasi. Tak terbayangkan jika harus terus berdesakan seperti ini beberapa jam lagi.

Sejak beberapa puluh menit tadi, aku mulai berpartisipasi dalam acara rutin harian kereta listrik ekonomi di hari kerja, berdesakan, berkeringat dan sesak napas. Sejujurnya, aku merasa enggan ketika pagi menjelang siang tadi aku berangkat. Tadinya aku mau naik bis saja biar sedikit nyaman, tapi rute yang pastinya rumit dan berputar-putar membuatku berpikir dua kali. Sehingga pada akhirnya, jauh sebelum sampai ke Baranangsiang, aku memutuskan untuk turun di Merdeka, dan bersiap naik kereta dengan segala konsekuensinya.

Yap, benar. Aku mengatakan “dengan segala konsekuensinya”. Karena memang naik KRL ekonomi adalah ritual yang pastinya tak begitu menyenangkan. Harga tiket yang cuma duaribu limaratus dari Bogor ke Stasiun Jakarta Kota, sudah cukup menjelaskan kenapa aku enggan naik kereta itu. Dengan tiket seharga itu, maka kita pasti akan dapat menyimpulkan setidaknya dua hal, pertama, pelayanannya pasti tidak bagus, tiket itu, masih lebih murah dari biaya tiga kali kencing di toilet, maka jangan mengeluh jika bau dan kotornya tidak jauh dari toilet. Maka pada kesimpulan ini, kita bisa mengatakan, selamat tinggal pada kenyamanan. Kedua, dengan tiket semurah itu, bisa dibayangkan, berapa juta orang yang berminat bepergian dengan fasilitas ini? Jelas bukan sebuah pikiran yang bijak, jika kita berharap kereta itu akan kosong dan kita bebas menghirup udara segar.

Rasanya kedua kesimpulanku tidak begitu salah, karena akhirnya, beginilah nasibku sekarang. Berdesakan, berdiri, bergoyang dan berkeringat deras. Sebuah ritual nikmat menjelang dhuhur dengan suhu udara yang terus meningkat. Selain kedua hal yang tadi kujelaskan, yang menyebalkan dari KRL ekonomi itu juga ternyata dia suka berhenti tiba-tiba di tengah jalan tanpa alasan. Tidak ada yang pernah tahu, kenapa begitu. Aku cuma menganggap barangkali itu adalah menu pelengkap penderita buat penumpang kereta. Beberapa sahabatku sering beranekdot, katanya, baterainya habis, jadi menunggu di-cas dulu dari kabel diatasnya. Mengerikan jika benar begitu. Pikirku.

Siang ini juga sudah terjadi beberapa kali kejadian seperti itu, kereta tiba-tiba melambat dan berhenti di tengah perjalanan. Semakin pelan kereta, maka semakin sedikit hembusan udara yang menyeruak masuk. Aku baru saja merasakan udara yang sedikit demi sedikit menghentikan hembusannya, ketika menyadari ada sesuatu yang bergerak mencurigakan di belakangku. Seorang anak dekil, sedang berusaha meronta dan mendesak keluar menuju pintu. Awalnya, aku hanya kesal saja melihat sikapnya yang tidak sabaran dan memaksa keluar bukan pada saat yang tepat. Anak itu kurus kering, hitam dan dekil. Di wajahnya terselip sebuah ekspresi yang aneh. Beberapa saat menjelang dia melompat, aku mulai menyadari sesuatu, tepat ketika kuraba saku belakangku. Dompetku tidak ada di situ. Secepat kilat otakku bereaksi, aku melihat tangan kiri anak dekil tadi memegang dompet kulit coklat, tepat sebelum ia melompat.

Shit!! Aku mulai mengumpat. Dadaku terasa panas. Aku segera mendesak penumpang lain menuju pintu. Aku tidak mempedulikan ekspresi wajah mereka yang sangat terganggu dengan manuver tubuhku di dalam himpitan tubuh mereka. Aku berlari mendekati pintu, dan sejenak menyadari anak itu tengah berlari, ketika aku melompat dari kereta.

Banyak orang berteriak ketika kereta mulai kembali berjalan. Aku tidak peduli. Dompet itu satu-satunya alasan untuk aku perjuangkan. Aku mungkin bisa saja merelakan dompet itu. Tapi sejenak terpikir, KTP, SIM, ATM, butuh waktu dan uang kalau aku harus mengurus surat kehilangan dan bikin kartu-kartu itu lagi.

Anak itu berlari kencang bukan main. Kemeja hijau kucelnya yang tak dikancing berkibar-kibar terhempas angin, celana sontog hitamnya sepertinya mempermudah gerakannya. Aku melihatnya berlari menjauhi rel kereta dan berbelok ke sebuah gang sempit. Aku hampir kehabisan napas mengejar anak itu. Badanku semakin panas. Kepalaku apalagi. Amarah tengah membakarku. Tidak ada yang bisa menghentikanku!!

Anak dekil sialan itu terus berlari, semakin menjauhiku. Dia berlari ke arah deretan rumah kumuh di pinggiran lapangan penampungan sampah. Melewati beberapa baris rumah jelek yang sangat sepi. Aku melihatnya masuk ke sebuah rumah di paling ujung dari deretan itu, dia membanting pintu. Aku berhenti di depan rumah itu ketika menyadari sesuatu. Deretan rumah itu ternyata sangat aneh. Seperti rumah-rumah kumuh yang sudah tidak berpenghuni. Suasananya sangat sepi dan nyaris tak terlihat kehidupan.

Tapi persetan dengan semua itu. Aku tidak peduli dengan itu semua. Aku hanya ingin dompetku kembali, dan sedikit memberi pelajaran pada anak itu. Dengan sekuat tenaga aku tendang pintu reyot itu. Rasanya, dalam keadaan normal saja, aku pasti bisa dengan mudah membuka pintu itu. Kemarahan membuat tenagaku berlipat dan pintu itu copot dari kusennya. Dengan geraman kemarahan aku memasuki rumah jelek itu. Berharap melihat anak itu sedang berkumpul dengan komplotannya dan aku siap menghajar mereka.

Ternyata ruangan pertama itu kosong. Aku melihat sebuah bekas spanduk tergantung menjadi semacam pembatas ruangan. Kusibakkan sedikit kain kotor itu. Aku mendapati seorang perempuan tua, dua anak kecil dan si anak dekil tadi. Mereka semua meringkuk di sudut ruangan, ketakutan melihat sosok murka yang berdiri di ambang pintu mereka. Aku menatapnya lebih seksama. Perempuan itu ternyata tak setua yang kukira, hanya saja tubuhnya kurus kering, anak-anak yang ketakutan itu berpipi cekung dan ingusan. Si anak dekil yang tadi kukejar ternyata hanyalah seorang bocah yang mungkin belum lewat dua belas umurnya. Anak itu mengulurkan dompet ke arahku dengan muka pucat dan logat yang aneh.

Aku melayangkan pandangan ke seisi rumah itu. Ruangan itu kosong, hanya ada setumpuk kain compang-camping yang pastinya merupakan tepat tidur keluarga itu. Sebuah tungku ada di sudut ruangan lain dengan panci kering gosong diatasnya. Kemarahanku langsung lenyap. Aku ambil dompetku dari anak dekil yang sedang menunduk itu.

“saya... bu, bu..kan copet kak, saya terpaksa... emak sakit, adek-adek belum makan dari kemarin...”


Suaranya terbata. Wajahnya yang polos memandangku. Tapi pandangan itu seperti tamparan keras di wajahku. Betapapun sulitnya biaya kuliahku, aku tak pernah sampai harus mencuri agar bisa tetap makan. Jawabannya yang tak terduga membuatku merasa bersalah. Kubuka dompetku, mengambil beberapa lembar sisa upahku jadi sopir tembak kemarin.

“ibu, maaf tadi saya marah sekali, pintunya jadi rusak...”

Hanya itu yang bisa aku katakan. Kuserahkan uang itu ke genggaman si ibu tua itu.

“assalamu’alaikum...”

Aku berbalik dan berlari, rasanya tak ingin lama-lama aku berada di rumah itu.

***