Kamis, 15 Juli 2010

Toilet Biadab

Pengalaman ini terjadi beberapa minggu yang lalu, ketika Indofood learning centre mengadakan supervisory management training di kantor pusat. Sebuah training rutin yang sudah beberapa bulan vacum karena restrukturisasi Corporate Human Resources. Alhamdulillah Saya dan beberapa rekan dari divisi biskuit berkesempatan mengikuti acara itu dengan beberapa peserta dari divisi lain. Pengalaman yang Saya alami sendiri sebetulnya merupakan sisi lain yang tidak berkaitan langsung dengan training itu. Namun terjadi akibat mengikuti training SDP itu.

Training itu diadakan di lantai 39 Indofood Tower, sebuah lantai istimewa karena sebetulnya lantai itu diperuntukkan sebagai ruang direksi dan juga terdapat ruang meeting direksi di sana. Hal yang menjadi pengalaman unik bagi para peserta adalah toilet yang terdapat di lantai itu, khususnya toilet pria.

Bagi semua peserta pria yang mengikuti acara ini, kami sudah sangat terbiasa melihat tempat kencing pria yang tergantung menempel di tembok, yang belum kami biasa lihat adalah tempat kencing yang seperti di toilet situ. Tampilannya hanya tempat kencing tanpa ada kran atau lubang air yang biasanya dipijit untuk mengeluarkan air untuk menyiram dan menyucikan diri dari hadas kecil.

Kondisi ini membuat Saya dan beberapa peserta training termenung ketika mendapati toilet seperti itu. Saya kemudian melihat sebuah lampu gelap semacam sensor diatas wadah buang hajat tersebut, iseng-iseng Saya menutup sensor itu. Tidak terjadi apa-apa dengan toilet itu. Saya kemudian membuka tangan Saya dari sensor itu. Dan kemudian mengalirlah air dari bagian atas tempat kencing itu. Hal ini membuat Saya dan beberapa rekan training yang Muslim tertegun, betapa tidak, air itu baru keluar setelah dia mendeteksi tidak ada orang di depan situ. Ya ampuuun, lalu bagaimana cara kami untuk mensucikan diri jika toiletnya seperti ini?

Entahlah, entah pertimbangan apa yang diambil oleh pemilik perusahaan ini, atau pembuat gedung ini, sehingga memilih toilet biadab semacam ini, padahal bagi seorang muslim, bersuci itu penting dan kami pasti tidak akan lupa menyiram tempat bekas buang air, karena harus bersuci tentunya.

Kenapa jadi budaya seperti ini yang diadopsi oleh negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia?

Sabtu, 10 Juli 2010

Langit Sore-nya


Pagi masih belum beranjak terang. Matahari belum juga menampakkan dirinya diantara lembaran awan yang merata menutupi langit pagi ini. Jakarta di pagi hari sudah menggeliat dari beberapa jam yang lalu. Yah, inilah salahsatu buktinya. Sejak setengah delapan tadi aku sudah berdiri di sini. Aku sedang menerawang jakarta. Jalan Sudirman, beberapa gedung tinggi, jalur 3 in 1 yang mulai sesak dengan kendaraan dan lapangan parkir terbuka yang terlihat mulai penuh. Pantas saja selama perjalanan tadi, jalanan lancar sekali, rupanya aku berangkat kepagian.

Aku masih sendiri. Di ruangan yang mirip seperti lobi itu. Dua set lingkaran sofa hitam disusun di sisi selatan ruangan yang berdinding kaca transparan dan menampilkan latar kota jakarta dari ketinggian lantai 39. Tepat di depan sofa itu aku berdiri, menerawang kota Jakarta yang terlihat seperti maket bergerak. Terselimuti kabut dan sedang menggeliat.

Namun pikiranku tidak sedang di situ, bukan diantara sofa atau kursi-kursi ruangan, bukan di gedung-gedung tinggi di seberang sana, atau bukan di jalan Sudirman yang ramai itu. Ruangan yang sepi itu tengah mengantar pikiranku terbang. Memutar mundur putaran jam ke arah yang berlawanan, menembus batasan waktu yang kita sebut sekarang. Menembus lembaran awan-awan tipis yang menjadi kelambu kota jakarta, menyusuri jalanan dalam ruang dan waktu yang berbeda, dan terhenti. Berhenti pada sebuah rumah sederhana bercat putih dengan kusen kayu kelapa hitam pada sebuah latar yang kita sebut masa lalu, sekitar tujuh tahun silam. Pinggiran kota Banjar.

***

Sebuah sore yang cerah, sepasang kursi kayu dan seorang pria sederhana setengah baya sedang duduk melepas lelah, ditemani anak lelakinya.
“sudah punya pilihan?” pria itu bertanya kepada sang anak
“sudah Pak, tapi belum tahu bagusan yang mana?”
“apa pilihannya?”
“pertama teknologi industri pertanian, kedua manajemen agribisnis...”

Wajah Bapak itu terlihat berpikir. “kenapa harus itu pilihannya...?”
“pertama, kalau dilihat dari perbandingan peminat dan jumlah yang diterima, ada empat jurusan yang banyak peminatnya yaitu kedua jurusan itu, sama ilmu komputer, dan teknologi pangan, persaingannya tinggi, jadi bisa dipastikan favorit Pak. Sayangnya, saya ngga minat sama ilmu komputer atau pangan. Jadi yah pilihannya jatuh ke dua pilihan itu. Kedua, jurusan manajemen itu kok rasanya kelihatannya bagus ya Pak, kayaknya bakal banyak duit hehe..., sementara kalau industri pertanian sih, kelihatannya lebih luas dan berorientasi ke masa depan, jadi kayaknya bakalan gampang kerja Pak, begitu... tapi bener ga sih yah?” anak lelaki itu tersenyum sambil garuk-garuk kepala.
Bapaknya tersenyum dan mengangguk, sambil menerawang jalanan desa di depan halaman,
“kamu ini kan mau kuliah, ini kaitannya sama masa depan lho...”
Dia berhenti sejenak.

Si anak termenung
“pilihannya terserah kamu, Bapak kan ga pernah kuliah, ga tau apa-apa, paling cuma bisa kasih pertimbangan, tapi, sekali kamu milih, Bapak ga bakalan ngasih kesempatan buat berhenti...”
“jadi gimana Pak?”
“manajemen agribisnis sepertinya bagus, tapi Bapak pikir sih kalau Teknologi Industri Pertanian sepertinya trend-nya bakal lebih bagus lagi... sekarang ini kan semua kerjaan bisa dikerjakan mesin. Barang-barang lebih banyak yang diproduksi massal. Kalau industri, semakin kedepan kayaknya bakalan semakin banyak, termasuk hasil pertanian juga, mungkin sekarang kita cuma tahu ikan kaleng, kornet atau mie instan, mungkin nantinya bakalan banyak lagi innovasi yang lain kan... kalau begitu, trend-nya bakalan jauh lebih bagus kan?”
Anak lelaki itu termenung, Bapaknya memang bukan orang kuliahan, tapi jalan pikirannya terbuka dan logis.
“saya juga sukanya yang itu, tapi kalau saya sudah pilih, ga boleh pindah ya Pak?”

Bapaknya hanya senyum sambil memandangnya.

“makanya Bapak minta kamu pilih salah satu yang kamu suka dan kamu memang punya impian ke situ. Bapak bakal dukung kamu. Buat Bapak sama Ibu, pendidikanmu lebih dari segalanya. Bapak ga punya apa-apa buat diwariskan, tidak uang, tidak juga harta. Tapi Bapak juga tidak mau mewariskan kebodohan Bapak buat kalian. Bapak ini dulu waktu SD tukang gembala kerbau, keluarga Bapak, mbah-mu itu ya miskin juga. Tapi sejak kecil Bapak pengen sekolah, meski orang-orang bilang tidak tahu diri, anak miskin mau sekolah! Tapi Bapak tetep sekolah, meski cuma bisa sampai SMA. Itupun kelas malam, sepulang Bapak kerja jadi kuli bangunan. Apa yang Bapak dapat saat ini, inilah yang terbaik yang bisa Bapak raih. Bapak tidak mau sejarah ini berulang pada kalian. Maka, buat Bapak, kalian harus jadi orang pintar. Yah... setidaknya kuliah minimal sampai S1. Kalau bisa, terus sampai S3, Bapak pasti bangga punya anak yang pinter dan berpendidikan. Tidak seperti Bapak yang cuma bisa jadi pegawai kecamatan. Sayangnya, Bapak cuma bisa modalin sampai S1, selanjutnya usahakan sendiri!..”

Bapak itu berhenti sejenak, membiarkan anaknya mencerna apa yang telah ia katakan.
Anak lelaki itu menatapnya.

“Sejujurnya, sekarang ini.... Bapak belum punya uang... tapi Bapak bakal usahakan! sekuat tenaga Bapak usahakan! Maka, sekali kamu melangkah, Bapak tidak akan biarkan kamu mundur dan mengecewakan...”

Sore itu semakin cerah tak berawan saat kedua lelaki dari generasi berbeda itu berdiskusi tentang masa depan, tentang kuliah, impian dan harapan.

***

“hey! Pagi-pagi dah ngelamun aja...!”
Aku tersentak. Lamunanku buyar.
Deni rekan trainingku tiba-tiba sudah duduk manis di sofa dengan secangkir kopi panas.
“eh... bikin kaget aja! Iya nih datangnya kepagian... temen-temen Fritoley lain mana Den?”
“tau tuh... tiap hari juga ngga pernah berangkat barengan kok...”

Sekali lagi Aku menatap langit Jakarta yang masih berawan dari lantai tertinggi di Indofood tower. Sekilas terbayang senyum Bapak yang tulus. Aku hanya ingin membalas senyumnya.
Pak, Aku sekarang telah sampai di titik ini, seandainya Bapak bisa melihatku, inilah salah satu yang kita rencanakan di sore itu...



)* untuk Bapak dan Ibuku tercinta, terimakasih telah menerangi hidupku dengan Impian dan Harapan!

17 Juli 2007

17.07.2007 01:00 pm

“ini sih sudah ga ada...” celetuk seorang dokter sembari menekan nadi Ayahku. Ekspresinya datar, ringan seolah tak ada kejadian besar yang terjadi di tempat itu. Sejenak kemudian ia berlalu meninggalkan dokter jaga yang sedang berjuang menyuntikkan adrenalin untuk kesekian kalinya. Aku tak sempat melihat muka dokter itu, tapi satu hal yang aku yakini, dia takkan berani berkata demikian jika sedang berada di posisiku. Semoga Allah mengampuni perbuatannya.
Sejak setengah jam lalu, kondisi Ayahku semakin memburuk, tekanan darah yang hanya 40 dan garis-garis hijau lurus yang tergambar di monitor sudah cukup menggambarkan semua kepanikanku. Ayahku sedang Koma. Namun aku takkan menyerah, setelah semua perjuangan yang aku lalui sejak semalam, ini bukan saatnya untuk menyerah!
Sekilas terbayang kejadian tadi malam, ketika ibuku menangis membersihkan badan ayahku yang tak sadarkan diri di atas tempat tidur. Sekejap kemudian kami sudah berada di dalam ambulans yang berteriak-teriak memecah sunyinya malam. Dan setelah semua itu, akhirnya aku dapat menutup malam dengan tenang, karena kondisi Ayahku membaik, meski hanya mendapat perawatan di Puskesmas Kecamatan.
“suntik lagi dok..!” suster di ICU memecahkan lamunanku,
Sejenak aku melihat garis lurus itu menjadi bergelombang lagi, tinggi sekali, namun lama kelamaan kembali menurun, dan semakin datar. Aku menghela napas panjang, berat sekali atmosfer udara di ruangan ini, sesak terasa menggila di dadaku. Aku masih memandang kosong berharap keajaiban terjadi sekali lagi.
Aku teringat lagi kejadian tadi pagi, ketika aku ngebut setengah mati menuju RSUD Banjar. Mencari-cari kamar kosong untuk perawatan intensif Ayahku.
“maaf mas semua fasilitas kami penuh...”
Aku terseok pulang, lemas dan berharap kondisi Ayahku membaik. Meski aku tak tahu lagi apa yang harus kukatakan pada Ibuku yang tengah menanti dengan cemas. Entahlah apa aku akan sanggup mengatakannya pada ibuku. Aku hanya ingin segera sampai ke ruang perawatan Ayahku dan berharap bertemu beliau dengan kondisi lebih baik.
Sekitar lima kilometer menjelang Kecamatan, aku melihat sebuah ambulans berlari sangat kencang. Sangat kencang. Sekilas aku melihat sopirnya melambai-lambai. Aku mulai menyadari sesuatu.
Seketika aku berputar, kupacu sepeda motor ayahku melewati batas kemampuannya. Aku tak dapat merasakan apapun, seluruh badanku seperti membeku, aku hanya merasakan hembusan angin menerpa badanku sangat kencang, dan ambulans itu semakin menjauhiku. Perlahan aku merasakan panas di dadaku, dan detakan yang semakin mengencang, aku tahu, aku harus sampai di Rumah Sakit segera!
Dan di sini lah aku sekarang. Setengah jam lalu, aku masih bisa melihat napas Ayahku yang tersengal, meski masih terpejam. Dan dalam do’aku selepas dhuhur, aku memohon kepada pemilik semesta...
“Ya Rabb seandainya Engkau masih memberikan waktu, maka berikan kami keajaiban, dan seandainya saatnya sudah tiba, maka mudahkanlah, ampunilah, dan beri kami semua kekuatan dan keikhlasan...”

“satu kali lagi dok...” perawat kembali memecah kesunyian
Aku kembali melihat garis lurus itu menjadi bergelombang, namun sekali lagi, ini hanya bertahan beberapa detik saja. Seorang rekan Ayahku menghampiri.
“ayo peluk Bapak, dan bisikkan takbir...”
Aku bertakbir lirih di samping telinga ayahku. Berulang kali. Beratus kali mungkin. Aku tak dapat merasakan waktu yang bergulir di sekitarku, semuanya seperti terdiam. Aku masih bertakbir. Sekilas aku melihat dokter dan suster masih melakukan beberapa prosedur terakhir yang harus dilakukan.
Aku tersentak. Dada ayahku terasa dingin. Aku memegang pergelangan tangannya. Dingin.

17.07.2007 01:30 pm

“Allahu akbar...” untuk kesekian kalinya aku membisikkan takbir di telinga Ayahku.
Aku tercekat menatap monitor. Garis hijau itu telah benar-benar lurus. Aku melihat dokter itu menggeleng. Suster di sampingnya kemudian menunduk dan berjalan lemah keluar ruangan ICU. Aku masih membisikkan takbir terakhir ketika kudengar Ibuku berteriak histeris. Kepalaku berat. Aku terduduk di lantai, mati rasa. Tenggorokanku sakit, sakit sekali. Perih hingga ke ulu hati. Sakit melihat semua alat bantuan medis telah dilepaskan dari tubuh ayahku yang membeku. Hingga yang tersisa hanyalah selimut kebisuan yang menutupi sekujur tubuh beliau.
Takbir terakhir siang itu, menjadi bisikkan terakhirku pada beliau.