Sabtu, 10 Juli 2010

17 Juli 2007

17.07.2007 01:00 pm

“ini sih sudah ga ada...” celetuk seorang dokter sembari menekan nadi Ayahku. Ekspresinya datar, ringan seolah tak ada kejadian besar yang terjadi di tempat itu. Sejenak kemudian ia berlalu meninggalkan dokter jaga yang sedang berjuang menyuntikkan adrenalin untuk kesekian kalinya. Aku tak sempat melihat muka dokter itu, tapi satu hal yang aku yakini, dia takkan berani berkata demikian jika sedang berada di posisiku. Semoga Allah mengampuni perbuatannya.
Sejak setengah jam lalu, kondisi Ayahku semakin memburuk, tekanan darah yang hanya 40 dan garis-garis hijau lurus yang tergambar di monitor sudah cukup menggambarkan semua kepanikanku. Ayahku sedang Koma. Namun aku takkan menyerah, setelah semua perjuangan yang aku lalui sejak semalam, ini bukan saatnya untuk menyerah!
Sekilas terbayang kejadian tadi malam, ketika ibuku menangis membersihkan badan ayahku yang tak sadarkan diri di atas tempat tidur. Sekejap kemudian kami sudah berada di dalam ambulans yang berteriak-teriak memecah sunyinya malam. Dan setelah semua itu, akhirnya aku dapat menutup malam dengan tenang, karena kondisi Ayahku membaik, meski hanya mendapat perawatan di Puskesmas Kecamatan.
“suntik lagi dok..!” suster di ICU memecahkan lamunanku,
Sejenak aku melihat garis lurus itu menjadi bergelombang lagi, tinggi sekali, namun lama kelamaan kembali menurun, dan semakin datar. Aku menghela napas panjang, berat sekali atmosfer udara di ruangan ini, sesak terasa menggila di dadaku. Aku masih memandang kosong berharap keajaiban terjadi sekali lagi.
Aku teringat lagi kejadian tadi pagi, ketika aku ngebut setengah mati menuju RSUD Banjar. Mencari-cari kamar kosong untuk perawatan intensif Ayahku.
“maaf mas semua fasilitas kami penuh...”
Aku terseok pulang, lemas dan berharap kondisi Ayahku membaik. Meski aku tak tahu lagi apa yang harus kukatakan pada Ibuku yang tengah menanti dengan cemas. Entahlah apa aku akan sanggup mengatakannya pada ibuku. Aku hanya ingin segera sampai ke ruang perawatan Ayahku dan berharap bertemu beliau dengan kondisi lebih baik.
Sekitar lima kilometer menjelang Kecamatan, aku melihat sebuah ambulans berlari sangat kencang. Sangat kencang. Sekilas aku melihat sopirnya melambai-lambai. Aku mulai menyadari sesuatu.
Seketika aku berputar, kupacu sepeda motor ayahku melewati batas kemampuannya. Aku tak dapat merasakan apapun, seluruh badanku seperti membeku, aku hanya merasakan hembusan angin menerpa badanku sangat kencang, dan ambulans itu semakin menjauhiku. Perlahan aku merasakan panas di dadaku, dan detakan yang semakin mengencang, aku tahu, aku harus sampai di Rumah Sakit segera!
Dan di sini lah aku sekarang. Setengah jam lalu, aku masih bisa melihat napas Ayahku yang tersengal, meski masih terpejam. Dan dalam do’aku selepas dhuhur, aku memohon kepada pemilik semesta...
“Ya Rabb seandainya Engkau masih memberikan waktu, maka berikan kami keajaiban, dan seandainya saatnya sudah tiba, maka mudahkanlah, ampunilah, dan beri kami semua kekuatan dan keikhlasan...”

“satu kali lagi dok...” perawat kembali memecah kesunyian
Aku kembali melihat garis lurus itu menjadi bergelombang, namun sekali lagi, ini hanya bertahan beberapa detik saja. Seorang rekan Ayahku menghampiri.
“ayo peluk Bapak, dan bisikkan takbir...”
Aku bertakbir lirih di samping telinga ayahku. Berulang kali. Beratus kali mungkin. Aku tak dapat merasakan waktu yang bergulir di sekitarku, semuanya seperti terdiam. Aku masih bertakbir. Sekilas aku melihat dokter dan suster masih melakukan beberapa prosedur terakhir yang harus dilakukan.
Aku tersentak. Dada ayahku terasa dingin. Aku memegang pergelangan tangannya. Dingin.

17.07.2007 01:30 pm

“Allahu akbar...” untuk kesekian kalinya aku membisikkan takbir di telinga Ayahku.
Aku tercekat menatap monitor. Garis hijau itu telah benar-benar lurus. Aku melihat dokter itu menggeleng. Suster di sampingnya kemudian menunduk dan berjalan lemah keluar ruangan ICU. Aku masih membisikkan takbir terakhir ketika kudengar Ibuku berteriak histeris. Kepalaku berat. Aku terduduk di lantai, mati rasa. Tenggorokanku sakit, sakit sekali. Perih hingga ke ulu hati. Sakit melihat semua alat bantuan medis telah dilepaskan dari tubuh ayahku yang membeku. Hingga yang tersisa hanyalah selimut kebisuan yang menutupi sekujur tubuh beliau.
Takbir terakhir siang itu, menjadi bisikkan terakhirku pada beliau.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar