Selasa, 29 Juni 2010

Mas No dan Rokok Kang Ujang

Hari sudah larut malam ketika kususuri jalanan bara di lingkar timur kampusku tercinta. Malam sudah sangat gelap, warung-warung penjual makanan yang berderet sepanjang jalan ini sudah banyak tutup. Yang tersisa hanyalah sisa sisa kegelapan dan noda-noda hitam sisa percikan minyak yang menghitam di pinggiran trotoar. Di kejauhan, tepat di depan plasa telkom, masih ada beberapa gerobak yang tampaknya terlambat menutup lapak, beberapa gerobak tukang nasi goreng, sate dan tukang gorengan. Perutku yang lapar semakin melilit dan menggila.
Hmmmmmmh. Aku menggigil. Penyakit komplikasiku mulai kumat. Penyakit khas mahasiswa yang jauh dari orangtua. Kecapekan, kelaparan dan kantong kosong. Paduan sempurna di malam yang dingin dan melelahkan seperti ini. Huuuuft. Aku menghela napas dalam. Akhir-akhir ini tidak ada job, tidak ada yang meminta pasokan tanaman, tidak ada yang meminta jasa design, dan juga tidak ada yang memintaku jadi sopir tembak. Hingga beginilah akhirnya, kantongku kering sebelum waktunya.
Klik! Secercah cahaya tiba-tiba muncul di kepalaku. Ada ilham yang dititipkan Gusti Allah melalui selembar angin yang berhembus di samping telingaku. Dengan langkah mantap aku berjalan menuju ujung jalan bara. Benar saja, kios di ujung jalan ini masih menyala dan sesosok pria botak masih standby didalamnya sambil mengantuk.
“malem Mas No...”
Brak!! Pria botak itu terkejut dan menyenggol pintu kayu di sampingnya. Dia mengucek matanya.
“lhaaaa... mas ganteng ini, kebiasaan! Suka bikin kaget”
Ini dia pedagang kesukaanku, pedagang yang jujur dalam menilai konsumennya. Selain juga menyediakan makanan murah dengan rasa yang lumayan enak.
“sudah ngantuk kok masih buka sih mas...?”
“begini mas-nya yang ganteng... (dia masih juga jujur ), saya sedang membangun persepsi bahwa warung saya ini standby setiap saat dan dapat memberikan layanan dengan produknya yang berkualitas dan enak, PERSEPSI! Itu kata kuncinya mas....”
Gubraakkk. Si mas yang satu ini memang luar biasa. Ditengah kantuknya yang dikelilingi malam yang sedingin dan larut ini, dia masih bisa berbicara hal yang berat-berat. Aku jadi penasaran.
“apa pentingnya persepsi mas?” kataku sambil mengambil posisi duduk terbaik di bangkunya yang sudah mengkilat.
“persepsi itu lebih penting dari kenyataan mas...!”
“lho, bukannya persepsi itu malah ngga real Mas No?”
“Ya ngga dong! Gini lho mas... Menurut Tanadi Santoso, setelah standar tercapai, produk hanyalah ‘titisan’ dari persepsi yang menjadi kenyataan... jadi kalo persepsi orang tentang produk kita sudah bagus, yah tinggal siap-siap aja jualannya laku...”
Wadeziiigg!! Dua kosong! Dia ternyata sudah membaca modul kuliah yang kudownload di internet, dan kemarin malam ketinggalan di warungnya. Sialan. Ini soal yang ga bisa ku jawab di kuis kuliah tadi pagi.
“sebentar... si mas ini mau pesen apa nih? Biar disiapin sambil saya cerita...”
“biasa mas, roti bakar juned”
“oke saya kasih keju sama kornetnya dikit aja yah mas, si mas kan sudah obesitas kayaknya...”
Aku tersenyum kecut. Ternyata pedagang jujur tak selamanya menyenangkan.
“oia mas No mau cerita apa?”
“ini lho mas, mas kan tau anak saya sudah delapan, padahal kan saya baru nikah sembilan tahun sama istri saya...”
Aku tersenyum. Mengingat beliau sering bercurhat semua hal padaku. Mulai dari kucing betinanya yang melahirkan kembar lima sampai ulah istrinya yang membelikan celana polkadot untuknya beberapa hari yang lalu.
“terus...?”
“naah tiga bulan kemaren istri saya merajuk mas, dia bilang ke saya... mas, anak kita kan udah delapan nih, semua alat KB ga ada yang bisa nahan kita, pil, suntik, semua dah aku coba, tapi yo tetep punya anak... lama-lama aku capek mas...”
“emang dasarnya subur kali mas...” aku nyeletuk memotong ceritanya.
“dengerin dulu tho mas...” kata Mas No sambil senyum
“nah setelah itu, dia bilang, mas kita berhenti dulu yah... pisah ranjang deh ya, sampai aku siap punya anak lagi... gitu katanya... waaah jelas saya keberatan dong mas, orang di kota hujan kok pisah” katanya sambil menyodorkan roti bakarnya.
Aku hanya bisa mesem mendengar cerita si Mas No yang blak-blakan ini.
“terus? Gimana mas? Jadi pisahnya...?”
“ya awalnya ngga lah, saya nolak mas, orang ibu saya saja yang anaknya limabelas ga pernah kedengeran ngeluh... tapi akhirnya saya juga ngikutin saran istri saya sih mas...”
“lho kok bisa?”
“habisnya waktu itu istri saya bilang gini, waaah Mas No ini ga keren, kalah sama Kang Ujang! Mas No tau kan Kang Ujang yang suka ngerokok itu? Biasanya sehari dia habis sebungkus rokok mas. tapi sekarang... dia sudah berhenti total mas, demi kesehatan dia sama keluarga katanya... tuuuh kan, Kang Ujang aja bisa brenti, padahal nikotin! Masa Mas No nahan gitu aja ga bisa?”
“wah... seru dong mas diskusinya, brantem ga?”
“ya ngga lah... Saya kan sayang dia... akhirnya saya nurut juga sama dia...lagian saya juga ga mau kalah set sama Kang Ujang”
“oooh jadi ngalah nih ceritanya, pantesan warungnya jadi buka terus.. hehehe sekarang dingin dong mas” aku coba menggoda si Mas No
“yah itu kan tiga bulan lalu, awalnya sih susah mas, tapi lama-lama yo biasa juga, saya tidur depan TV, istri saya tidur di kamar... Alhamdulillah lancar juga mas...” katanya sambil senyum-senyum sendiri.
Aku tak bisa membayangkan apa yang dirasakan mas No saat ini, tapi malam ini memang dingin dan aku tak berniat berlama-lama di warung Mas No, mataku sudah berat sekali.
Aku sedang menunggu kembalian dari Mas No, ketika kudengar suara langkah lari kecil dari dalam gang.
Mbak Yu, istrinya Mas No, muncul dan langsung menghampiri Mas No.
“Mas, malem ini tutup cepet ya...” katanya sambil mengedip ke Mas No
“lho.. kenapa dek?”
“dingin mas... lagian nganu mas...” dia tampak ragu-ragu sambil melirik ke arahku
“lagian apa?” Mas No memelankan suaranya
“Kang Ujang sudah mulai merokok lagi...” Mbak Yu menjawab genit dan terus melangkah masuk lagi ke dalam gang dengan wajah malu-malu
“Yo wes... tungguin yaaah... pembelinya tinggal si mas ganteng ini aja kok...” Mas No berteriak ke arah Mbak Yu, dengan wajah sumringah.
Hahaha.
Aku tak tahan melihat ekspresi kedua suami istri ini. “yo wes Mas, aku pulang dulu, makasi rotinya...”
Aku berlalu meninggalkan Mas No yang menutup warungnya sambil bersiul-siul. Dan cerita selanjutnya, tanyakan sendiri sajalah sama Mas No.
***

*A tribute to Mas Renato Saksanni, thanks buat mp3 warkop prambors-nya, thanks juga sudah mengenalkan Warkop Tampomas di ujung jalan Bara dengan roti bakar pisang keju coklatnya. Dua-duanya asik buat nemenin nge-draft.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar