Sabtu, 13 November 2010

Anak Dekil di Kereta

Cahaya matahari musim kemarau memang tiada duanya. Panas terik bercampur udara kering semakin akrab menemani hari-hari gersang pinggiran ibukota. Hari ini, panas matahari tampaknya semakin menggila saja. Memanaskan udara bebas. Menaikkan suhu lingkungan, dan tentunya pada akhirnya menaikkan suhu tubuh manusia. Aku mengeluh. Tubuhku rasanya sudah letih tak tertahankan, berkeringat dan hampir dehidrasi. Tak terbayangkan jika harus terus berdesakan seperti ini beberapa jam lagi.

Sejak beberapa puluh menit tadi, aku mulai berpartisipasi dalam acara rutin harian kereta listrik ekonomi di hari kerja, berdesakan, berkeringat dan sesak napas. Sejujurnya, aku merasa enggan ketika pagi menjelang siang tadi aku berangkat. Tadinya aku mau naik bis saja biar sedikit nyaman, tapi rute yang pastinya rumit dan berputar-putar membuatku berpikir dua kali. Sehingga pada akhirnya, jauh sebelum sampai ke Baranangsiang, aku memutuskan untuk turun di Merdeka, dan bersiap naik kereta dengan segala konsekuensinya.

Yap, benar. Aku mengatakan “dengan segala konsekuensinya”. Karena memang naik KRL ekonomi adalah ritual yang pastinya tak begitu menyenangkan. Harga tiket yang cuma duaribu limaratus dari Bogor ke Stasiun Jakarta Kota, sudah cukup menjelaskan kenapa aku enggan naik kereta itu. Dengan tiket seharga itu, maka kita pasti akan dapat menyimpulkan setidaknya dua hal, pertama, pelayanannya pasti tidak bagus, tiket itu, masih lebih murah dari biaya tiga kali kencing di toilet, maka jangan mengeluh jika bau dan kotornya tidak jauh dari toilet. Maka pada kesimpulan ini, kita bisa mengatakan, selamat tinggal pada kenyamanan. Kedua, dengan tiket semurah itu, bisa dibayangkan, berapa juta orang yang berminat bepergian dengan fasilitas ini? Jelas bukan sebuah pikiran yang bijak, jika kita berharap kereta itu akan kosong dan kita bebas menghirup udara segar.

Rasanya kedua kesimpulanku tidak begitu salah, karena akhirnya, beginilah nasibku sekarang. Berdesakan, berdiri, bergoyang dan berkeringat deras. Sebuah ritual nikmat menjelang dhuhur dengan suhu udara yang terus meningkat. Selain kedua hal yang tadi kujelaskan, yang menyebalkan dari KRL ekonomi itu juga ternyata dia suka berhenti tiba-tiba di tengah jalan tanpa alasan. Tidak ada yang pernah tahu, kenapa begitu. Aku cuma menganggap barangkali itu adalah menu pelengkap penderita buat penumpang kereta. Beberapa sahabatku sering beranekdot, katanya, baterainya habis, jadi menunggu di-cas dulu dari kabel diatasnya. Mengerikan jika benar begitu. Pikirku.

Siang ini juga sudah terjadi beberapa kali kejadian seperti itu, kereta tiba-tiba melambat dan berhenti di tengah perjalanan. Semakin pelan kereta, maka semakin sedikit hembusan udara yang menyeruak masuk. Aku baru saja merasakan udara yang sedikit demi sedikit menghentikan hembusannya, ketika menyadari ada sesuatu yang bergerak mencurigakan di belakangku. Seorang anak dekil, sedang berusaha meronta dan mendesak keluar menuju pintu. Awalnya, aku hanya kesal saja melihat sikapnya yang tidak sabaran dan memaksa keluar bukan pada saat yang tepat. Anak itu kurus kering, hitam dan dekil. Di wajahnya terselip sebuah ekspresi yang aneh. Beberapa saat menjelang dia melompat, aku mulai menyadari sesuatu, tepat ketika kuraba saku belakangku. Dompetku tidak ada di situ. Secepat kilat otakku bereaksi, aku melihat tangan kiri anak dekil tadi memegang dompet kulit coklat, tepat sebelum ia melompat.

Shit!! Aku mulai mengumpat. Dadaku terasa panas. Aku segera mendesak penumpang lain menuju pintu. Aku tidak mempedulikan ekspresi wajah mereka yang sangat terganggu dengan manuver tubuhku di dalam himpitan tubuh mereka. Aku berlari mendekati pintu, dan sejenak menyadari anak itu tengah berlari, ketika aku melompat dari kereta.

Banyak orang berteriak ketika kereta mulai kembali berjalan. Aku tidak peduli. Dompet itu satu-satunya alasan untuk aku perjuangkan. Aku mungkin bisa saja merelakan dompet itu. Tapi sejenak terpikir, KTP, SIM, ATM, butuh waktu dan uang kalau aku harus mengurus surat kehilangan dan bikin kartu-kartu itu lagi.

Anak itu berlari kencang bukan main. Kemeja hijau kucelnya yang tak dikancing berkibar-kibar terhempas angin, celana sontog hitamnya sepertinya mempermudah gerakannya. Aku melihatnya berlari menjauhi rel kereta dan berbelok ke sebuah gang sempit. Aku hampir kehabisan napas mengejar anak itu. Badanku semakin panas. Kepalaku apalagi. Amarah tengah membakarku. Tidak ada yang bisa menghentikanku!!

Anak dekil sialan itu terus berlari, semakin menjauhiku. Dia berlari ke arah deretan rumah kumuh di pinggiran lapangan penampungan sampah. Melewati beberapa baris rumah jelek yang sangat sepi. Aku melihatnya masuk ke sebuah rumah di paling ujung dari deretan itu, dia membanting pintu. Aku berhenti di depan rumah itu ketika menyadari sesuatu. Deretan rumah itu ternyata sangat aneh. Seperti rumah-rumah kumuh yang sudah tidak berpenghuni. Suasananya sangat sepi dan nyaris tak terlihat kehidupan.

Tapi persetan dengan semua itu. Aku tidak peduli dengan itu semua. Aku hanya ingin dompetku kembali, dan sedikit memberi pelajaran pada anak itu. Dengan sekuat tenaga aku tendang pintu reyot itu. Rasanya, dalam keadaan normal saja, aku pasti bisa dengan mudah membuka pintu itu. Kemarahan membuat tenagaku berlipat dan pintu itu copot dari kusennya. Dengan geraman kemarahan aku memasuki rumah jelek itu. Berharap melihat anak itu sedang berkumpul dengan komplotannya dan aku siap menghajar mereka.

Ternyata ruangan pertama itu kosong. Aku melihat sebuah bekas spanduk tergantung menjadi semacam pembatas ruangan. Kusibakkan sedikit kain kotor itu. Aku mendapati seorang perempuan tua, dua anak kecil dan si anak dekil tadi. Mereka semua meringkuk di sudut ruangan, ketakutan melihat sosok murka yang berdiri di ambang pintu mereka. Aku menatapnya lebih seksama. Perempuan itu ternyata tak setua yang kukira, hanya saja tubuhnya kurus kering, anak-anak yang ketakutan itu berpipi cekung dan ingusan. Si anak dekil yang tadi kukejar ternyata hanyalah seorang bocah yang mungkin belum lewat dua belas umurnya. Anak itu mengulurkan dompet ke arahku dengan muka pucat dan logat yang aneh.

Aku melayangkan pandangan ke seisi rumah itu. Ruangan itu kosong, hanya ada setumpuk kain compang-camping yang pastinya merupakan tepat tidur keluarga itu. Sebuah tungku ada di sudut ruangan lain dengan panci kering gosong diatasnya. Kemarahanku langsung lenyap. Aku ambil dompetku dari anak dekil yang sedang menunduk itu.

“saya... bu, bu..kan copet kak, saya terpaksa... emak sakit, adek-adek belum makan dari kemarin...”


Suaranya terbata. Wajahnya yang polos memandangku. Tapi pandangan itu seperti tamparan keras di wajahku. Betapapun sulitnya biaya kuliahku, aku tak pernah sampai harus mencuri agar bisa tetap makan. Jawabannya yang tak terduga membuatku merasa bersalah. Kubuka dompetku, mengambil beberapa lembar sisa upahku jadi sopir tembak kemarin.

“ibu, maaf tadi saya marah sekali, pintunya jadi rusak...”

Hanya itu yang bisa aku katakan. Kuserahkan uang itu ke genggaman si ibu tua itu.

“assalamu’alaikum...”

Aku berbalik dan berlari, rasanya tak ingin lama-lama aku berada di rumah itu.

***

Kamis, 28 Oktober 2010

Kereta Jelata

Mataku perlahan terbuka. Terdiam sejenak berusaha mengenali cahaya remang-remang dari lampu. Dalam samar aku melihat jarum jam tanganku. Emmh masih gelap. Kumiringkan ke arah cahaya dan samar kulihat jarum jam, sudah larut malam. Mataku berkeliling mengamati setiap sisi ruangan. Masih sama seperti di stasiun Tegal tadi, sepasang orangtua yang duduk di hadapanku masih terlelap. Sepertinya semakin nyenyak melawan sisa-sisa penat yang tergambar di wajah tua mereka. Kedua raga tua itu berayun diiringi detak roda kereta. Empat orang kakek di samping tempat duduk kami pun tampaknya sudah berhenti bernostalgia. Gelak tawa dan cerita masa muda yang sejak tadi tak sengaja kudengar tampaknya mulai berpindah ke alam mimpinya sendiri-sendiri. Sekilas aku memandang berkeliling sekali lagi, tampaknya setiap manusia tengah terlelap dalam tidur yang dalam. Mengobati kelelahan yang telah menggelayut sepanjang siang tadi.

Ahhh dingin sekali udara malam ini. Aku melirik ke atas jendela, bekas ventilasi yang seharusnya bisa dibuka tutup. Yang tertinggal hanya kusen baja berkarat tanpa ada tanda-tanda pernah ada kaca terselip di sana. Membiarkan angin malam menyeruak masuk dengan bebasnya. Menyentuh setiap tubuh yang ada di dalam kereta. Hmmm tampaknya harus membenamkan badan jauh ke dalam sweater.

“hmmmh...” aku meliriknya. Dia yang sejak tadi terlelap di pundak kananku. Tangan-tangan lembutnya semakin erat memeluk tanganku, alam bawah sadarnya telah menggerakkan otot tangan lembutnya untuk menyusup dan melindungi badannya dari udara yang berhembus kencang. Dingin memang terasa sangat di musim kemarau seperti ini. Kurapatkan sweater hitamnya, menutupi jilbab merah muda kesayangannya, sejenak kutatap dalam-dalam wajahnya. Sisa-sisa keringat masih terlihat menghiasi wajahnya. Ia masih terlelap. Lelah. Lelah setelah kepanasan sepanjang sore tadi. Lelah karena ia telah menuruti ajakanku untuk menaiki kereta ini. Aku memandangnya lekat. Ada terbersit perasaan bersalah telah mengajaknya dan setengah memaksa untuk naik kereta ini tadi sore. Kereta jelata yang sebenarnya -dalam keadaan normal- akupun sangat tak berminat untuk menggunakan jasanya.

“tak apalah toh kau tak sedang dan tak bermaksud menyakitinya...”

otak kiri berbisik ke hatiku. Sejenak bibirku tersenyum. Ada-ada saja. Pikirku. Demi berbagi pengalaman yang sudah berkali kualami, aku memaksanya untuk merasakan sensasi bertamasya dengan kereta jelata. Memaksanya kepanasan di siang hari dan kedinginan di malam hari seperti ini. Tak apalah sesekali saja kan...?. lagi lagi otakku yang berpikir lebih logis berusaha menenangkan hatiku yang masih rada gusar.

***

Mataku kembali menatap wajahnya. Tak pernah bosan mengagumi. Wanita yang telah memutarbalikkan semua prinsipku tentang kecantikan. Dulu, dulu sekali sebelum aku kuliah, cantik bagiku adalah rambut panjang yang tergerai bebas. Kulit kuning langsat dan badan semampai. Wajah cantik dan hidung mancung. Senyuman dengan gigi rapi atau semerbak wangi parfum. Dan pintar kalo bisa... Aku tersenyum mengingat semua kekonyolan itu. Memang tak salah rasanya aku berpikiran seperti itu, tapi jika aku membayangkan tiga atau empat tahun kemudian, maka dia yang ada di sampingku lah wanita yang paling cantik itu. Aku tak sempat melihat rambutnya sebelum menikah, tidak juga warna kulitnya atau aroma tubuhnya, bahkan ia tak pernah memperlihatkan lekuk tubuhnya. Tapi justru itulah yang membuatku mencintainya. Jilbab yang menjulur ke sekujur tubuhnya, khimar lebarnya, yang menutup pesona fisiknya justru membuatku jatuh hati padanya. dia yang memutarbalikkan semua prinsipku tentang kecantikan. Kecantikan yang sebenarnya, pesona yang muncul karena ketaatannya pada perintah Rab semesta alam. Dia bidadari penyejuk jiwaku. Jauh dalam hatiku aku bersyukur karena Allah telah menghadiahkannya untukku.

Aku masih menatapnya. Sejenak ia menarik sweater, matanya terbuka, menetralisir gelap dan memalingkan wajahnya ke luar jendela. Ia menarik napas dalam...

“masih jauh ya mas...”

“sebentar lagi”

malam masih dikuasai suara roda kereta

“dari tadi gak tidur yah?” pandangannya beralih ke wajahku

“tidur kok, cuma tadi kebetulan ajah bangunnya duluan”

“pasti ngga deh...!”. Kebiasaan! Pikirku. Melihat sorot matanya yang seolah berkata “ngaku aja deh...!”.

“tidur...”

“kok tadi pas aku bangun mas lagi ngeliatin?” bibirnya menggambar seulas senyum

“cuma memastikan kamu tidur dengan nyaman...”. ia tersenyum lagi,

“pastinya semaleman mas gak tidur, karena terlalu sibuk mengagumi anugerah Illahi, mas pasti banyak bertasbih dan memuji kuasaNya karena telah menciptakan keindahan di dunia ini”

“tapi di luar terlalu gelap... mas gak bisa liat apa-apa...”

“bukan mas... bukan keindahan yang itu”

“lho.. terus apa dong?”

dia tersenyum sambil memandang keluar jendela.

“kok malah senyum...?”

“pas aku bangun tadi, mas lagi menikmati keindahan itu kan...”

Bisa-bisanya dia menjawab seperti itu, padahal baru saja otaknya tersadar.

Dia tersenyum manja

“bener kan mas? Iya kaaan...!”. Dia berbisik menggodaku.

Speechless. Aku tak bisa menjawab apa-apa. Hanya bulir-bulir kebahagiaan tiba-tiba memenuhi kepalaku, membesar dan semakin membesar. Sejenak rasanya kereta ini cuma milik kami berdua. kulirik matanya yang menatapku dengan senyumannya.

“hehe kamu pinter yah... bisaan, padahal baru bangun lho”

Dia hanya tersenyum sambil memegang tanganku. Tapi dari rona merah di pipinya aku tahu apa yang ada di hatinya.

***

Laju kereta terasa perlahan menurun. Derit gesekan rem dengan rel kereta terdengar memanjang. Orang di luar sana tentunya dapat melihat percikan kembang api menghiasi sepanjang roda-roda kereta ini. PEKALONGAN. Sebuah papan tua lapuk berdiri di ujung stasiun ini. Umurnya sudah tak muda lagi. Mungkin sama tuanya dengan bantalan kayu besi di bawah rel kereta yang kunaiki. Berdiri tegak selama puluhan tahun dan menjadi saksi atas berbagai peristiwa di sepanjang rel yang juga tua. Cahaya lampu perlahan menyapu wajah kami, menyeruak masuk ke dalam celah-celah jendela kereta. Menerangi sebagian besar isi kereta. Sepasang sebaya di depan kami terbangun dari lelap tidurnya.

“sampe mana ini mas...?” si kakek bertanya

“pekalongan Pak” istriku menjawab duluan

“masih satu-dua jam lagi yah dik”

“itu juga kalo kita gak lama berhentinya Pak” ujarku

“tampaknya bakalan lama Pak” si kakek di bangku sebelah tiba-tiba menjawab. Kapan dia bangun yah? Tiba-tiba saja sudah segar begitu wajahnya.

“lho, memang ada apa pak?”

“kita kan nunggu kereta bisnis di belakang kita lewat dulu Pak”

“lhoo... padahal sudah dekat yah”

“mau apa lagi, mereka kan bayar lebih mahal, paling setengah atau satu jam Pak”

Senyum kecut terlihat sekilas di bibir si kakek.

“mas turun dulu yuk...” ajak istriku.

“laper...” bisiknya.

Aku mengangguk dan berdiri, pamitan ke si kakek sebentar. Menyusuri sesaknya gerbong, dan ah... Suasana di luar terasa sangat segar. Meski udara terasa sangat dingin.

Kurapatkan sweaterku. Sambil menyusuri tembok stasiun tua itu, aku tersenyum. Menggamit tangan istriku. Kalah juga nih protes mogok makan yang dilancarkannya gara-gara aku ajak naik kereta ini tadi.

“aww..!” tiba-tiba ada sesuatu terasa panas. Tangan mungilnya mencubit pinggangku.

“daripada aku sakit, ntar mas malah repot...!” tampaknya dia mulai bisa membaca isi kepalaku. Aku tersenyum kecut. Belum lama Tiar menjadi istriku, dia sudah seperti mengenalku lama sekali.

“iya, mas juga lapar...” jawaban aman.

Tak apa lah. Paling tidak dia tidak akan meneruskan program mogok makannya.

Langkah kami perlahan menyusuri stasiun ini. Bangunan stasiun ini tak lebih muda dari papan nama di ujung peron sana. Papan namanya juga sudah tua. Dihiasi sarang laba-laba menghitam di pinggirannya. Tembok penyangga, pilar pondasi yang menonjol sisa-sisa kolonialis masih berdiri tegak, jendela-jendela setinggi pintu masih terpasang erat. Bukti penguasaan teknologi kaum penjajah. Buah kemajuan pola pikir barat yang terpasang sampai kini, meski kemajuan yang mereka alami tengah menggiring mereka menuju kehancuran. Hancur seperti lapuknya papan-papan nama stasiun ini.

Lampu-lampu besar tak lagi semuanya menyala. Umur telah membuat beberapa diantaranya tak mampu lagi menyala. Beberapa masih mampu menerangi meski redup. Mataku mengamati setiap sisi stasiun. Tak ada warung makan yang terbuka. Hanya beberapa kios rokok saja. Pandanganku masih berkeliling. Ada beberapa penjual makanan gendong. Tak ada kehidupan kecuali mereka, ibu-ibu tua yang sedang terduduk lemah atau berjalan dalam gerak lambat. Pekat malam yang memuncak menyelimuti lelah, setelah sepanjang hari berjuang, tampaknya nasib memaksa mereka bertahan hingga selarut ini.

Kok ibu-ibu tua semuanya. Gumamku. Belum hilang rasa penasaranku, tangan istriku menarikku dan mendekati salah satu nenek yang berjualan makanan. Beliau terduduk lelah di samping gendongan wadah makanannya. Wajahnya sudah sangat tua. Mungkin yang tertua dari beberapa penjaja makanan yang tersisa sampai dinihari ini. Aku memandangnya. Berjuta rasa berbaur di dadaku. Wanita tua itu masih memegangi bakulnya yang sudah mengkilat. Lurik yang menempel di tubuhnya tampaknya tak lebih muda dari kain sarungnya. Lusuh, seperti bendera yang terlalu lama berkibar dan tak pernah diturunkan dari tiangnya. Warna aslinya sudah tak terlihat jelas. Hanya saja, beliau terlihat sangat bersih, pudar namun bersih. Ia tengah tersudut dalam kesepian. Padahal beberapa rekannya tengah sibuk melayani pembeli yang menghampiri mereka. Hanya dia yang terdiam sendiri.

Istriku menghampirinya.

“mbok jualan apa...?”

sejenak ia terkejut. Segurat senyum tulus menghiasi wajahnya

“nasi nak...sama ayam, ayo nak, masih anget...” matanya berbinar

“ya sudah mbok, nasinya dua yah, ayamnya empat ya mbok...”

“alhamdulillah... maturnuwun nak... sebentar yah ibu bungkusin”

belum pernah rasanya aku mendengar kalimat syukur yang diucapkan setulus ini.

“mbok jualan sama siapa mbok?” Tiar bertanya

“ya rame-rame sama temen-temen yang lain” si mbok melirik pedagang lainnya

“mbok berangkat sama mereka dari rumah?”

“lha ya ngga nak... rumah kita jauh-jauh, kita ya ketemunya disini saja... ayamnya empat ya nak?

“iya mbok empat saja..., lho jadi mbok kalo berangkat sendirian yah?”

“sekarang iya nak, tapi kalo dulu ada anaknya si mbok yang nemenin jualan jadi ada temen ngobrol sambil jalan ke sini”

“si mbok tinggal di mana?” aku menimpali

“deket terminal sana nak... hampir ke batang”

“jalan...? mbok jalan kaki? Kan jauh mbok...”

“lha emang nak mas ini tau dimana terminal?” si mbok tersenyum

“yah saya dulu pernah maen ke rumah temen di sana mbok... deket bhakti waluyo”

“lha iya deket situ rumahnya si mbok tuh... wah jangan-jangan kita pernah ketemu dulu...” si mbok tersenyum. aku juga tersenyum. Bukan karena mungkin pernah kenal, tapi membayangkan perjalanan delapan kilo yang ditempuh jalan kaki sambil menggendong bakul yang penuh.

“sekarang kemana anaknya mbok?” Tiar bertanya lagi

“dia sudah nikah... dibawa suaminya ke semarang, tapi yah wong nasibnya keturunan tukang bakul nasi, di sana juga dia jadi tukang nasi di stasiun juga nak... bantu nyari duit, suaminya kan cuma sopir angkot...” dia masih memilih potongan ayam terbaiknya untuk kami.

Malam terasa semakin dingin, menggigit pori-pori menusuk jauh ke dalam lapisan kulit. Sesekali batuk yang tertahan keluar dari mulut si Mbok tua.

“mbok jualan dari pagi sampe malem?” aku penasaran

“ngga nak, kalo pagi si mbok ngumpulin sampah plastik di pasar, baru sore-sore mbok ke stasiun, kalo lagi rame yah jam sepuluh mungkin sudah pulang, tapi kalo sepi begini yah sampe jam tiga juga belum habis dagangannya...” batuk semakin sering menyelingi suaranya yang melemah

“terus mbok besok pagi ke pasar juga... mbok kan lagi batuk gini?!” Tiar mulai tak terkendali

“lha iya... kalo batuk yo wajar, namanya juga sudah tua” dia tersenyum “yah si mbok kan butuh duit buat makan nak, kalo ga ngasih makan sendiri, siapa yang mau ngumpanin... oia ini semuanya empat belas ribu nak”

Istriku termenung memandang si Mbok tua yang tersenyum di depan kami. Tangannya memegang erat tanganku. Matanya berkaca-kaca. Akupun terdiam membayangkan betapa tak beruntungnya nasib yang menghinggapi kehidupan Mbok tua ini. Aku samasekali tak bisa bersuara. Tenggorokanku semakin panas tercekat. Rasanya mataku sudah basah. dan hampir tak bisa menahan air mata.

“nak ini...” si Mbok memegang tangan istriku

“oh iya Mbok...” ia mengambil bungkusan dari tangan si ibu. Membuka dompet dan mengeluarkan uang seratus ribuan.

“waah nak, uangnya yang kecil saja si Mbok gak ada kembalian...” ia berkata demikian sambil melirik rekannya sesama penjual nasi.

“ngga mbok...” Tiar menggenggam tangan si Mbok.

“Mbok ngga usah ngasih kembalian sama saya...”

“tapi lebihnya banyak banget nak...” sekilas kulihat wajah tua itu pucat

“ini rejekinya si Mbok, buat mbok semuanya...”

“tapi...”

“tapi... si mbok harus janji sama saya, nanti pulang naik becak yah... jangan jalan kaki... besok juga jangan jualan dulu... biar si Mbok sembuh dulu batuknya... Mbok mau kan..?” Tiar tampaknya sudah hampir tak mampu menahan air matanya

“alhamdulillah ya Allah Gustiiiii... makasih nak, makasih banyak, ya Allaaaah... semoga rejekinya banyak ya nak, berkah...” si Mbok menangis dan menggenggam uang diatas kepalanya.

“tapi Mbok janji yah...”

“iya cah ayu... nanti si mbok pulang naik becak... besok juga si Mbok ngga jualan dulu...”

sebentar malam pecah oleh suara kereta bisnis yang sedari tadi kami tunggu. Aku dan Tiar pamitan kepada si mbok tua. Tiar sempat memeluk dan mencium tangannya sebelum kembali ke kereta yang akan segera berangkat. Samar dari balik jendela buram aku melihat si Mbok bersujud dipelataran sebelum akhirnya mengemasi dagangannya.

Di dalam kereta yang mulai merayap perlahan, istriku membenamkan wajahnya di bahuku. Matanya semakin berkaca-kaca. Air mata yang ditahannya sejak berada di hadapan si mbok tua akhirnya tumpah ruah diatas sweater hitamnya. Aku hanya bisa memeluknya dan merasakan gejolak yang sama di dadaku. Beberapa saat setelah reda. Ia berbisik.

“mas lain kali kita naik kereta ini lagi kalo mudik ke Semarang...”

“kenapa...?”

“biar aku bisa lebih mensyukuri hidup mas...”

***

Rabu, 11 Agustus 2010

ternyata bukan bintang



Hidup memang tak pernah terduga. Seperti seseorang yang berteduh dibawah pohon mangga yang ranum dan kemudian kejatuhan buah mangga. Ia tak pernah menduga akan mendapati mangga jatuh di atas kepala. Meskin respon yang timbul bisa berbagai kemungkinan... berupa ucapan syukur atau malah sederet umpatan. Namun kita bisa menarik dua kesimpulan yang pasti, pertama, ia tidak pernah menduganya, ini berarti hidup adalah misteri, dan yang kedua, ia juga beruntung karena tidak sedang berteduh di bawah pohon duren.

Namun, kejadian malam ini sungguh bukan tentang mangga maupun duren, tapi tentang lima kata pada kalimat pertama note ini, hidup memang tak pernah terduga. Maka siapa sangka jika malam ini aku dan teman-temanku sedang menggelar tenda dan bersiap camping di pinggiran tanggul citanduy. Sebagian besar dari kami tidak pernah berpikir akan dibawa ke tempat seperti ini dan menginap semalam di sini, satu-satunya kelompok orang yang tahu rencana ini adalah mereka yang punya nametag dengan tulisan “sie. Acara” dan dilabeli “idiottroublemaker”. Aku dan beberapa rekan dekatku yang terlibat dalam kepanitiaan inti, tidak pernah tahu rencana “bodoh” untuk menginap di pinggiran tanggul citanduy di musim hujan begini. Padahal sampai kemarin malam, kami masih sepakat untuk berkemping di halaman belakang sekolah saja. Rupanya inilah sesuatu yang idiottroublemaker bilang sebagai surprise.

Jadi begitulah, seperti yang telah tertulis di kitab lauhul mahfuz-Nya, maka malam ini kami sudah mendirikan tenda di lapangan rumput ilalang di tepian tanggul yang menjulang itu dengan serapi-rapinya agar pintu kainnya dapat dikancingkan; untuk sedikit mencegah agar angin dan nyamuk tidak ikut bermalam di dalam tenda.

Kejutan dari para idiot itu ternyata belum berhenti, mereka menghilang sebentar dan muncul kembali dengan membawa beberapa tumpukan kayu bakar dan beberapa batang ketela pohon.
“hasil survey tadi sore...” seorang dari mereka menjawab tatapan curigaku sambil tersenyum.
“ketela punya siapa?”
“ketela hutan... halal...” ia menjawab sekenanya, mana ada ketela hutan? Seingatku, pohon ketela sekitar lapangan situ berderet rapi, yang artinya, pasti ada pemiliknya!
“darurat boy, apa aja bisa jadi halaaal” ia menambahkan sambil cengengesan
“Iyah... dan gerombolanmu itulah yang bikin kita begini.”
“sudahlah... ayo bikin api unggun, sebentar lagi kita bakar makan malam sambil renungan”
salahsatu anggota troublemaker yang paling alim mencoba menengahi dan memulai membuat api unggun.

Sebagai seorang alim, ia juga yang bisa menerangkan latar belakang acara kejutan malam itu dan mengungkapkan maksudnya untuk tadabbur alam. Hingga, sambil ditemani hangatnya api unggun dan bakar ketela, kami bisa mengambil pelajaran dari apa yang ia tadabburi sepanjang jalan.

Aku masih ingat, di bagian akhir monolognya, ia sempat berkata...
“dan kalian lihatlah bintang itu...” kata si alim ini sambil menunjuk tiga titik berkilauan berwarna merah di langit utara malam yang mendung itu.
“entah berapa milyar tahun jarak kita dengannya, tapi cahayanya tetap dapat kita nikmati. dengan cahaya indahnya, maka malam menjadi gemerlap, petani tahu kapan saatnya menanam dan pelaut bisa menentukan arah dengan panduannya. Ia tak pernah berpikir apakah cahayanya bisa dilihat orang, yang ia lakukan hanyalah terus bereaksi dan menghasilkan cahaya, meskipun cahayanya mungkin baru bisa kita nikmati setelah jutaan tahun perjalanan, dan bisa jadi, ketika cahayanya sampai di sini mungkin inti bintangnya malah sudah hancur tak bersisa...”
sebentar ia berhenti dan menarik napas yang dalam, sedalam napas kami semua yang tengah larut dalam kekaguman terhadap Kuasa-Nya
“tapi itulah ia... tanpa peduli apakah orang lain akan berterimakasih atau tidak, ia akan terus bersinar, dan memberikan kebaikannya pada semesta, sebisanya, sampai habis energinya...” dengan tatapan yang dalam ia menutup renungannya. Membuat kami semua larut dalam keheningan kebesaran Tuhan.

Tak lama kemudian, seorang temanku berbisik
“kalau cuaca se-mendung ini, kok bisa kelihatan ada bintang yah? Aneh!”
Aku tak menjawab, hanya memberi isyarat agar ia diam dan tidak merusak suasana khidmat dan penuh pelajaran itu.
Menjelang subuh, ketika adzan berkumandang dan aku mulai terbangun dari tidur yang lelap, beberapa temanku sedang duduk-duduk di depan tenda sambil riuh tertawa dan menunjuk ke arah utara...
 
Aku mulai mengucek mata dan melihat ke arah telunjuk temanku menunjuk...
 

tampaklah bintang-bintang yang semalam kami kagumi sekarang sudah meredup karena fajar, dan menempel di tiang sutet. 
Aku tertawa sekeras-kerasnya... seorang temanku berteriak kepada sie acara,

“jadi inikah yang semalam kita tadabburi kawan...?”

Ia hanya tersenyum kecut, tidak menjawab. Sedangkan temannya si alim itu sudah pulang duluan dari tadi menjelang subuh. Ia mendadak sakit perut kronis setelah melihat bintang yang ia kagumi semalam tersangkut di tiang sutet.

------------------------------------------------------------------------------
dari sebuah latar di sekitar SMP 4 Banjar, di pelosok Ciamis, pinggiran tanggul Citanduy

Selasa, 03 Agustus 2010

The Beauty is You

Dalam sebuah perjalanan akhir pekan, antara Purwakarta-Bandung. Di dalam sebuah bis, akhirnya aku bisa sejenak menyimpan beban pekerjaan yang selama seminggu kemarin terus membebani kepala. sengaja mengambil posisi duduk di sebelah kanan, di sisi jendela, agar bisa menikmati pemandangan yang dilalui sepanjang perjalanan nanti. Meski penuh sesak, kucoba untuk me-rileks-kan badan yang kelelahan. sore yang cerah berawan disertai semilir angin yang menyelusup melalui celah jendela, pasti akan menjadi perjalanan yang menyenangkan.

Beberapa saat setelah pintu tol ciganea, bis mulai bisa melaju dengan kecepatan tinggi, membelah angin menyusuri jalan tol penghubung Jakarta Bandung yang belum berumur lama itu. Pemandangan sepanjang pinggiran jalan tol yang membosankan membuat sejenak pikiranku melayang, dan terus menjauh menyusuri masa lalu.

Aku sempat hampir tertidur ketika kemudian tersadar karena melihat sebuah keajaiban di depan mata.

di ufuk barat aku melihat awan yang menutupi matahari perlahan menepi. Membiarkan sinar senja yang keemasan menyapu hangat seluruh permukaan bumi, menyelusup melalui celah celah awan yang semakin menipis di akhir sore ini. Menyapu setiap jengkal udara terbuka, menyentuh setiap inci permukaan bumi. Adalah kebahagiaan yang sempurna ketika cahaya itu juga menyinari wajahku di balik kaca jendela bis itu. Belum selesai Aku mengagumi keindahan langit sore itu, tiba tiba...

Ya Allah, aku terperanjat ketika melihat padang ilalang yang tersapu cahaya senja yang baru muncul itu. Aku baru menyadari, bahwa ilalang yang memenuhi ladang terbengkalai itu benar-benar tak biasa. relief bebukitan yang biasanya hanya berwarna hijau polos itu, sore ini sangat berbeda. Mereka semua sedang serentak berbunga. Bunga putihnya seperti ulat bulu yang berdiri, berdiri tegak, putih seperti lilin, namun bergoyang anggun gemulai ketika tersentuh hembusan angin, dan mereka, tengah muncul dari setiap tanaman ilalang yang terhampar itu, entah berapa milyar bunga yang ada di sana... dan jangan tanyakan apa yang kurasakan saat itu. Padang ilalang itu tengah berubah menjadi hamparan permadani halus berwarna hijau putih, indaaaaah, jauh lebih indah dari hamparan bunga yang pernah kulihat di taman nusantara. Reliefnya yang bergelombang disertai polesan sinar mentari senja, benar-benar melarutkanku dalam sebuah haru yang dalam, dalam kekaguman atas segala Kebesaran-Nya, atas sebuah mahakarya permadani raksasa yang dibuat oleh sentuhan kuasa-Nya, melalui sesuatu yang tak terduga, rumput liar... Ilalang!

Perjalanan itu menjadi sarat makna bagi hidupku, betapa ilalang yang kehadirannya selalu diidentikkan dengan ketidekterawatan lahan, ketiadaan penghuni rumah tua, atau segala hal negatif lainnya, ternyata mampu menimbulkan kekaguman yang tak terduga.

Maka di penghujung hari yang menakjubkan itu, Aku merenung, Jika ilalang yang berupa rumput liar saja bisa berubah menjadi seindah itu...

Tak perlu tempat yang mewah, tak perlu harga yang mahal, tak perlu nama terkenal, karena...
THE BEAUTY is YOU!
Keindahan itu ada dalam diri kita, seindah sikap kita dalam mengindahkan kehidupan ini.

Dan kemudian aku teringat pada sebuah ayat yang sering diulang dalam Al Quran

“maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan...?

Terimalah kehidupan dengan ikhlas, syukurilah... maka hidup yang liar seperti ilalang akan berubah menjadi seindah permadani ilalang yang berkilau tersapu cahaya senja.

Kamis, 15 Juli 2010

Toilet Biadab

Pengalaman ini terjadi beberapa minggu yang lalu, ketika Indofood learning centre mengadakan supervisory management training di kantor pusat. Sebuah training rutin yang sudah beberapa bulan vacum karena restrukturisasi Corporate Human Resources. Alhamdulillah Saya dan beberapa rekan dari divisi biskuit berkesempatan mengikuti acara itu dengan beberapa peserta dari divisi lain. Pengalaman yang Saya alami sendiri sebetulnya merupakan sisi lain yang tidak berkaitan langsung dengan training itu. Namun terjadi akibat mengikuti training SDP itu.

Training itu diadakan di lantai 39 Indofood Tower, sebuah lantai istimewa karena sebetulnya lantai itu diperuntukkan sebagai ruang direksi dan juga terdapat ruang meeting direksi di sana. Hal yang menjadi pengalaman unik bagi para peserta adalah toilet yang terdapat di lantai itu, khususnya toilet pria.

Bagi semua peserta pria yang mengikuti acara ini, kami sudah sangat terbiasa melihat tempat kencing pria yang tergantung menempel di tembok, yang belum kami biasa lihat adalah tempat kencing yang seperti di toilet situ. Tampilannya hanya tempat kencing tanpa ada kran atau lubang air yang biasanya dipijit untuk mengeluarkan air untuk menyiram dan menyucikan diri dari hadas kecil.

Kondisi ini membuat Saya dan beberapa peserta training termenung ketika mendapati toilet seperti itu. Saya kemudian melihat sebuah lampu gelap semacam sensor diatas wadah buang hajat tersebut, iseng-iseng Saya menutup sensor itu. Tidak terjadi apa-apa dengan toilet itu. Saya kemudian membuka tangan Saya dari sensor itu. Dan kemudian mengalirlah air dari bagian atas tempat kencing itu. Hal ini membuat Saya dan beberapa rekan training yang Muslim tertegun, betapa tidak, air itu baru keluar setelah dia mendeteksi tidak ada orang di depan situ. Ya ampuuun, lalu bagaimana cara kami untuk mensucikan diri jika toiletnya seperti ini?

Entahlah, entah pertimbangan apa yang diambil oleh pemilik perusahaan ini, atau pembuat gedung ini, sehingga memilih toilet biadab semacam ini, padahal bagi seorang muslim, bersuci itu penting dan kami pasti tidak akan lupa menyiram tempat bekas buang air, karena harus bersuci tentunya.

Kenapa jadi budaya seperti ini yang diadopsi oleh negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia?

Sabtu, 10 Juli 2010

Langit Sore-nya


Pagi masih belum beranjak terang. Matahari belum juga menampakkan dirinya diantara lembaran awan yang merata menutupi langit pagi ini. Jakarta di pagi hari sudah menggeliat dari beberapa jam yang lalu. Yah, inilah salahsatu buktinya. Sejak setengah delapan tadi aku sudah berdiri di sini. Aku sedang menerawang jakarta. Jalan Sudirman, beberapa gedung tinggi, jalur 3 in 1 yang mulai sesak dengan kendaraan dan lapangan parkir terbuka yang terlihat mulai penuh. Pantas saja selama perjalanan tadi, jalanan lancar sekali, rupanya aku berangkat kepagian.

Aku masih sendiri. Di ruangan yang mirip seperti lobi itu. Dua set lingkaran sofa hitam disusun di sisi selatan ruangan yang berdinding kaca transparan dan menampilkan latar kota jakarta dari ketinggian lantai 39. Tepat di depan sofa itu aku berdiri, menerawang kota Jakarta yang terlihat seperti maket bergerak. Terselimuti kabut dan sedang menggeliat.

Namun pikiranku tidak sedang di situ, bukan diantara sofa atau kursi-kursi ruangan, bukan di gedung-gedung tinggi di seberang sana, atau bukan di jalan Sudirman yang ramai itu. Ruangan yang sepi itu tengah mengantar pikiranku terbang. Memutar mundur putaran jam ke arah yang berlawanan, menembus batasan waktu yang kita sebut sekarang. Menembus lembaran awan-awan tipis yang menjadi kelambu kota jakarta, menyusuri jalanan dalam ruang dan waktu yang berbeda, dan terhenti. Berhenti pada sebuah rumah sederhana bercat putih dengan kusen kayu kelapa hitam pada sebuah latar yang kita sebut masa lalu, sekitar tujuh tahun silam. Pinggiran kota Banjar.

***

Sebuah sore yang cerah, sepasang kursi kayu dan seorang pria sederhana setengah baya sedang duduk melepas lelah, ditemani anak lelakinya.
“sudah punya pilihan?” pria itu bertanya kepada sang anak
“sudah Pak, tapi belum tahu bagusan yang mana?”
“apa pilihannya?”
“pertama teknologi industri pertanian, kedua manajemen agribisnis...”

Wajah Bapak itu terlihat berpikir. “kenapa harus itu pilihannya...?”
“pertama, kalau dilihat dari perbandingan peminat dan jumlah yang diterima, ada empat jurusan yang banyak peminatnya yaitu kedua jurusan itu, sama ilmu komputer, dan teknologi pangan, persaingannya tinggi, jadi bisa dipastikan favorit Pak. Sayangnya, saya ngga minat sama ilmu komputer atau pangan. Jadi yah pilihannya jatuh ke dua pilihan itu. Kedua, jurusan manajemen itu kok rasanya kelihatannya bagus ya Pak, kayaknya bakal banyak duit hehe..., sementara kalau industri pertanian sih, kelihatannya lebih luas dan berorientasi ke masa depan, jadi kayaknya bakalan gampang kerja Pak, begitu... tapi bener ga sih yah?” anak lelaki itu tersenyum sambil garuk-garuk kepala.
Bapaknya tersenyum dan mengangguk, sambil menerawang jalanan desa di depan halaman,
“kamu ini kan mau kuliah, ini kaitannya sama masa depan lho...”
Dia berhenti sejenak.

Si anak termenung
“pilihannya terserah kamu, Bapak kan ga pernah kuliah, ga tau apa-apa, paling cuma bisa kasih pertimbangan, tapi, sekali kamu milih, Bapak ga bakalan ngasih kesempatan buat berhenti...”
“jadi gimana Pak?”
“manajemen agribisnis sepertinya bagus, tapi Bapak pikir sih kalau Teknologi Industri Pertanian sepertinya trend-nya bakal lebih bagus lagi... sekarang ini kan semua kerjaan bisa dikerjakan mesin. Barang-barang lebih banyak yang diproduksi massal. Kalau industri, semakin kedepan kayaknya bakalan semakin banyak, termasuk hasil pertanian juga, mungkin sekarang kita cuma tahu ikan kaleng, kornet atau mie instan, mungkin nantinya bakalan banyak lagi innovasi yang lain kan... kalau begitu, trend-nya bakalan jauh lebih bagus kan?”
Anak lelaki itu termenung, Bapaknya memang bukan orang kuliahan, tapi jalan pikirannya terbuka dan logis.
“saya juga sukanya yang itu, tapi kalau saya sudah pilih, ga boleh pindah ya Pak?”

Bapaknya hanya senyum sambil memandangnya.

“makanya Bapak minta kamu pilih salah satu yang kamu suka dan kamu memang punya impian ke situ. Bapak bakal dukung kamu. Buat Bapak sama Ibu, pendidikanmu lebih dari segalanya. Bapak ga punya apa-apa buat diwariskan, tidak uang, tidak juga harta. Tapi Bapak juga tidak mau mewariskan kebodohan Bapak buat kalian. Bapak ini dulu waktu SD tukang gembala kerbau, keluarga Bapak, mbah-mu itu ya miskin juga. Tapi sejak kecil Bapak pengen sekolah, meski orang-orang bilang tidak tahu diri, anak miskin mau sekolah! Tapi Bapak tetep sekolah, meski cuma bisa sampai SMA. Itupun kelas malam, sepulang Bapak kerja jadi kuli bangunan. Apa yang Bapak dapat saat ini, inilah yang terbaik yang bisa Bapak raih. Bapak tidak mau sejarah ini berulang pada kalian. Maka, buat Bapak, kalian harus jadi orang pintar. Yah... setidaknya kuliah minimal sampai S1. Kalau bisa, terus sampai S3, Bapak pasti bangga punya anak yang pinter dan berpendidikan. Tidak seperti Bapak yang cuma bisa jadi pegawai kecamatan. Sayangnya, Bapak cuma bisa modalin sampai S1, selanjutnya usahakan sendiri!..”

Bapak itu berhenti sejenak, membiarkan anaknya mencerna apa yang telah ia katakan.
Anak lelaki itu menatapnya.

“Sejujurnya, sekarang ini.... Bapak belum punya uang... tapi Bapak bakal usahakan! sekuat tenaga Bapak usahakan! Maka, sekali kamu melangkah, Bapak tidak akan biarkan kamu mundur dan mengecewakan...”

Sore itu semakin cerah tak berawan saat kedua lelaki dari generasi berbeda itu berdiskusi tentang masa depan, tentang kuliah, impian dan harapan.

***

“hey! Pagi-pagi dah ngelamun aja...!”
Aku tersentak. Lamunanku buyar.
Deni rekan trainingku tiba-tiba sudah duduk manis di sofa dengan secangkir kopi panas.
“eh... bikin kaget aja! Iya nih datangnya kepagian... temen-temen Fritoley lain mana Den?”
“tau tuh... tiap hari juga ngga pernah berangkat barengan kok...”

Sekali lagi Aku menatap langit Jakarta yang masih berawan dari lantai tertinggi di Indofood tower. Sekilas terbayang senyum Bapak yang tulus. Aku hanya ingin membalas senyumnya.
Pak, Aku sekarang telah sampai di titik ini, seandainya Bapak bisa melihatku, inilah salah satu yang kita rencanakan di sore itu...



)* untuk Bapak dan Ibuku tercinta, terimakasih telah menerangi hidupku dengan Impian dan Harapan!

17 Juli 2007

17.07.2007 01:00 pm

“ini sih sudah ga ada...” celetuk seorang dokter sembari menekan nadi Ayahku. Ekspresinya datar, ringan seolah tak ada kejadian besar yang terjadi di tempat itu. Sejenak kemudian ia berlalu meninggalkan dokter jaga yang sedang berjuang menyuntikkan adrenalin untuk kesekian kalinya. Aku tak sempat melihat muka dokter itu, tapi satu hal yang aku yakini, dia takkan berani berkata demikian jika sedang berada di posisiku. Semoga Allah mengampuni perbuatannya.
Sejak setengah jam lalu, kondisi Ayahku semakin memburuk, tekanan darah yang hanya 40 dan garis-garis hijau lurus yang tergambar di monitor sudah cukup menggambarkan semua kepanikanku. Ayahku sedang Koma. Namun aku takkan menyerah, setelah semua perjuangan yang aku lalui sejak semalam, ini bukan saatnya untuk menyerah!
Sekilas terbayang kejadian tadi malam, ketika ibuku menangis membersihkan badan ayahku yang tak sadarkan diri di atas tempat tidur. Sekejap kemudian kami sudah berada di dalam ambulans yang berteriak-teriak memecah sunyinya malam. Dan setelah semua itu, akhirnya aku dapat menutup malam dengan tenang, karena kondisi Ayahku membaik, meski hanya mendapat perawatan di Puskesmas Kecamatan.
“suntik lagi dok..!” suster di ICU memecahkan lamunanku,
Sejenak aku melihat garis lurus itu menjadi bergelombang lagi, tinggi sekali, namun lama kelamaan kembali menurun, dan semakin datar. Aku menghela napas panjang, berat sekali atmosfer udara di ruangan ini, sesak terasa menggila di dadaku. Aku masih memandang kosong berharap keajaiban terjadi sekali lagi.
Aku teringat lagi kejadian tadi pagi, ketika aku ngebut setengah mati menuju RSUD Banjar. Mencari-cari kamar kosong untuk perawatan intensif Ayahku.
“maaf mas semua fasilitas kami penuh...”
Aku terseok pulang, lemas dan berharap kondisi Ayahku membaik. Meski aku tak tahu lagi apa yang harus kukatakan pada Ibuku yang tengah menanti dengan cemas. Entahlah apa aku akan sanggup mengatakannya pada ibuku. Aku hanya ingin segera sampai ke ruang perawatan Ayahku dan berharap bertemu beliau dengan kondisi lebih baik.
Sekitar lima kilometer menjelang Kecamatan, aku melihat sebuah ambulans berlari sangat kencang. Sangat kencang. Sekilas aku melihat sopirnya melambai-lambai. Aku mulai menyadari sesuatu.
Seketika aku berputar, kupacu sepeda motor ayahku melewati batas kemampuannya. Aku tak dapat merasakan apapun, seluruh badanku seperti membeku, aku hanya merasakan hembusan angin menerpa badanku sangat kencang, dan ambulans itu semakin menjauhiku. Perlahan aku merasakan panas di dadaku, dan detakan yang semakin mengencang, aku tahu, aku harus sampai di Rumah Sakit segera!
Dan di sini lah aku sekarang. Setengah jam lalu, aku masih bisa melihat napas Ayahku yang tersengal, meski masih terpejam. Dan dalam do’aku selepas dhuhur, aku memohon kepada pemilik semesta...
“Ya Rabb seandainya Engkau masih memberikan waktu, maka berikan kami keajaiban, dan seandainya saatnya sudah tiba, maka mudahkanlah, ampunilah, dan beri kami semua kekuatan dan keikhlasan...”

“satu kali lagi dok...” perawat kembali memecah kesunyian
Aku kembali melihat garis lurus itu menjadi bergelombang, namun sekali lagi, ini hanya bertahan beberapa detik saja. Seorang rekan Ayahku menghampiri.
“ayo peluk Bapak, dan bisikkan takbir...”
Aku bertakbir lirih di samping telinga ayahku. Berulang kali. Beratus kali mungkin. Aku tak dapat merasakan waktu yang bergulir di sekitarku, semuanya seperti terdiam. Aku masih bertakbir. Sekilas aku melihat dokter dan suster masih melakukan beberapa prosedur terakhir yang harus dilakukan.
Aku tersentak. Dada ayahku terasa dingin. Aku memegang pergelangan tangannya. Dingin.

17.07.2007 01:30 pm

“Allahu akbar...” untuk kesekian kalinya aku membisikkan takbir di telinga Ayahku.
Aku tercekat menatap monitor. Garis hijau itu telah benar-benar lurus. Aku melihat dokter itu menggeleng. Suster di sampingnya kemudian menunduk dan berjalan lemah keluar ruangan ICU. Aku masih membisikkan takbir terakhir ketika kudengar Ibuku berteriak histeris. Kepalaku berat. Aku terduduk di lantai, mati rasa. Tenggorokanku sakit, sakit sekali. Perih hingga ke ulu hati. Sakit melihat semua alat bantuan medis telah dilepaskan dari tubuh ayahku yang membeku. Hingga yang tersisa hanyalah selimut kebisuan yang menutupi sekujur tubuh beliau.
Takbir terakhir siang itu, menjadi bisikkan terakhirku pada beliau.


Selasa, 29 Juni 2010

Mas No dan Rokok Kang Ujang

Hari sudah larut malam ketika kususuri jalanan bara di lingkar timur kampusku tercinta. Malam sudah sangat gelap, warung-warung penjual makanan yang berderet sepanjang jalan ini sudah banyak tutup. Yang tersisa hanyalah sisa sisa kegelapan dan noda-noda hitam sisa percikan minyak yang menghitam di pinggiran trotoar. Di kejauhan, tepat di depan plasa telkom, masih ada beberapa gerobak yang tampaknya terlambat menutup lapak, beberapa gerobak tukang nasi goreng, sate dan tukang gorengan. Perutku yang lapar semakin melilit dan menggila.
Hmmmmmmh. Aku menggigil. Penyakit komplikasiku mulai kumat. Penyakit khas mahasiswa yang jauh dari orangtua. Kecapekan, kelaparan dan kantong kosong. Paduan sempurna di malam yang dingin dan melelahkan seperti ini. Huuuuft. Aku menghela napas dalam. Akhir-akhir ini tidak ada job, tidak ada yang meminta pasokan tanaman, tidak ada yang meminta jasa design, dan juga tidak ada yang memintaku jadi sopir tembak. Hingga beginilah akhirnya, kantongku kering sebelum waktunya.
Klik! Secercah cahaya tiba-tiba muncul di kepalaku. Ada ilham yang dititipkan Gusti Allah melalui selembar angin yang berhembus di samping telingaku. Dengan langkah mantap aku berjalan menuju ujung jalan bara. Benar saja, kios di ujung jalan ini masih menyala dan sesosok pria botak masih standby didalamnya sambil mengantuk.
“malem Mas No...”
Brak!! Pria botak itu terkejut dan menyenggol pintu kayu di sampingnya. Dia mengucek matanya.
“lhaaaa... mas ganteng ini, kebiasaan! Suka bikin kaget”
Ini dia pedagang kesukaanku, pedagang yang jujur dalam menilai konsumennya. Selain juga menyediakan makanan murah dengan rasa yang lumayan enak.
“sudah ngantuk kok masih buka sih mas...?”
“begini mas-nya yang ganteng... (dia masih juga jujur ), saya sedang membangun persepsi bahwa warung saya ini standby setiap saat dan dapat memberikan layanan dengan produknya yang berkualitas dan enak, PERSEPSI! Itu kata kuncinya mas....”
Gubraakkk. Si mas yang satu ini memang luar biasa. Ditengah kantuknya yang dikelilingi malam yang sedingin dan larut ini, dia masih bisa berbicara hal yang berat-berat. Aku jadi penasaran.
“apa pentingnya persepsi mas?” kataku sambil mengambil posisi duduk terbaik di bangkunya yang sudah mengkilat.
“persepsi itu lebih penting dari kenyataan mas...!”
“lho, bukannya persepsi itu malah ngga real Mas No?”
“Ya ngga dong! Gini lho mas... Menurut Tanadi Santoso, setelah standar tercapai, produk hanyalah ‘titisan’ dari persepsi yang menjadi kenyataan... jadi kalo persepsi orang tentang produk kita sudah bagus, yah tinggal siap-siap aja jualannya laku...”
Wadeziiigg!! Dua kosong! Dia ternyata sudah membaca modul kuliah yang kudownload di internet, dan kemarin malam ketinggalan di warungnya. Sialan. Ini soal yang ga bisa ku jawab di kuis kuliah tadi pagi.
“sebentar... si mas ini mau pesen apa nih? Biar disiapin sambil saya cerita...”
“biasa mas, roti bakar juned”
“oke saya kasih keju sama kornetnya dikit aja yah mas, si mas kan sudah obesitas kayaknya...”
Aku tersenyum kecut. Ternyata pedagang jujur tak selamanya menyenangkan.
“oia mas No mau cerita apa?”
“ini lho mas, mas kan tau anak saya sudah delapan, padahal kan saya baru nikah sembilan tahun sama istri saya...”
Aku tersenyum. Mengingat beliau sering bercurhat semua hal padaku. Mulai dari kucing betinanya yang melahirkan kembar lima sampai ulah istrinya yang membelikan celana polkadot untuknya beberapa hari yang lalu.
“terus...?”
“naah tiga bulan kemaren istri saya merajuk mas, dia bilang ke saya... mas, anak kita kan udah delapan nih, semua alat KB ga ada yang bisa nahan kita, pil, suntik, semua dah aku coba, tapi yo tetep punya anak... lama-lama aku capek mas...”
“emang dasarnya subur kali mas...” aku nyeletuk memotong ceritanya.
“dengerin dulu tho mas...” kata Mas No sambil senyum
“nah setelah itu, dia bilang, mas kita berhenti dulu yah... pisah ranjang deh ya, sampai aku siap punya anak lagi... gitu katanya... waaah jelas saya keberatan dong mas, orang di kota hujan kok pisah” katanya sambil menyodorkan roti bakarnya.
Aku hanya bisa mesem mendengar cerita si Mas No yang blak-blakan ini.
“terus? Gimana mas? Jadi pisahnya...?”
“ya awalnya ngga lah, saya nolak mas, orang ibu saya saja yang anaknya limabelas ga pernah kedengeran ngeluh... tapi akhirnya saya juga ngikutin saran istri saya sih mas...”
“lho kok bisa?”
“habisnya waktu itu istri saya bilang gini, waaah Mas No ini ga keren, kalah sama Kang Ujang! Mas No tau kan Kang Ujang yang suka ngerokok itu? Biasanya sehari dia habis sebungkus rokok mas. tapi sekarang... dia sudah berhenti total mas, demi kesehatan dia sama keluarga katanya... tuuuh kan, Kang Ujang aja bisa brenti, padahal nikotin! Masa Mas No nahan gitu aja ga bisa?”
“wah... seru dong mas diskusinya, brantem ga?”
“ya ngga lah... Saya kan sayang dia... akhirnya saya nurut juga sama dia...lagian saya juga ga mau kalah set sama Kang Ujang”
“oooh jadi ngalah nih ceritanya, pantesan warungnya jadi buka terus.. hehehe sekarang dingin dong mas” aku coba menggoda si Mas No
“yah itu kan tiga bulan lalu, awalnya sih susah mas, tapi lama-lama yo biasa juga, saya tidur depan TV, istri saya tidur di kamar... Alhamdulillah lancar juga mas...” katanya sambil senyum-senyum sendiri.
Aku tak bisa membayangkan apa yang dirasakan mas No saat ini, tapi malam ini memang dingin dan aku tak berniat berlama-lama di warung Mas No, mataku sudah berat sekali.
Aku sedang menunggu kembalian dari Mas No, ketika kudengar suara langkah lari kecil dari dalam gang.
Mbak Yu, istrinya Mas No, muncul dan langsung menghampiri Mas No.
“Mas, malem ini tutup cepet ya...” katanya sambil mengedip ke Mas No
“lho.. kenapa dek?”
“dingin mas... lagian nganu mas...” dia tampak ragu-ragu sambil melirik ke arahku
“lagian apa?” Mas No memelankan suaranya
“Kang Ujang sudah mulai merokok lagi...” Mbak Yu menjawab genit dan terus melangkah masuk lagi ke dalam gang dengan wajah malu-malu
“Yo wes... tungguin yaaah... pembelinya tinggal si mas ganteng ini aja kok...” Mas No berteriak ke arah Mbak Yu, dengan wajah sumringah.
Hahaha.
Aku tak tahan melihat ekspresi kedua suami istri ini. “yo wes Mas, aku pulang dulu, makasi rotinya...”
Aku berlalu meninggalkan Mas No yang menutup warungnya sambil bersiul-siul. Dan cerita selanjutnya, tanyakan sendiri sajalah sama Mas No.
***

*A tribute to Mas Renato Saksanni, thanks buat mp3 warkop prambors-nya, thanks juga sudah mengenalkan Warkop Tampomas di ujung jalan Bara dengan roti bakar pisang keju coklatnya. Dua-duanya asik buat nemenin nge-draft.