Rabu, 11 Agustus 2010

ternyata bukan bintang



Hidup memang tak pernah terduga. Seperti seseorang yang berteduh dibawah pohon mangga yang ranum dan kemudian kejatuhan buah mangga. Ia tak pernah menduga akan mendapati mangga jatuh di atas kepala. Meskin respon yang timbul bisa berbagai kemungkinan... berupa ucapan syukur atau malah sederet umpatan. Namun kita bisa menarik dua kesimpulan yang pasti, pertama, ia tidak pernah menduganya, ini berarti hidup adalah misteri, dan yang kedua, ia juga beruntung karena tidak sedang berteduh di bawah pohon duren.

Namun, kejadian malam ini sungguh bukan tentang mangga maupun duren, tapi tentang lima kata pada kalimat pertama note ini, hidup memang tak pernah terduga. Maka siapa sangka jika malam ini aku dan teman-temanku sedang menggelar tenda dan bersiap camping di pinggiran tanggul citanduy. Sebagian besar dari kami tidak pernah berpikir akan dibawa ke tempat seperti ini dan menginap semalam di sini, satu-satunya kelompok orang yang tahu rencana ini adalah mereka yang punya nametag dengan tulisan “sie. Acara” dan dilabeli “idiottroublemaker”. Aku dan beberapa rekan dekatku yang terlibat dalam kepanitiaan inti, tidak pernah tahu rencana “bodoh” untuk menginap di pinggiran tanggul citanduy di musim hujan begini. Padahal sampai kemarin malam, kami masih sepakat untuk berkemping di halaman belakang sekolah saja. Rupanya inilah sesuatu yang idiottroublemaker bilang sebagai surprise.

Jadi begitulah, seperti yang telah tertulis di kitab lauhul mahfuz-Nya, maka malam ini kami sudah mendirikan tenda di lapangan rumput ilalang di tepian tanggul yang menjulang itu dengan serapi-rapinya agar pintu kainnya dapat dikancingkan; untuk sedikit mencegah agar angin dan nyamuk tidak ikut bermalam di dalam tenda.

Kejutan dari para idiot itu ternyata belum berhenti, mereka menghilang sebentar dan muncul kembali dengan membawa beberapa tumpukan kayu bakar dan beberapa batang ketela pohon.
“hasil survey tadi sore...” seorang dari mereka menjawab tatapan curigaku sambil tersenyum.
“ketela punya siapa?”
“ketela hutan... halal...” ia menjawab sekenanya, mana ada ketela hutan? Seingatku, pohon ketela sekitar lapangan situ berderet rapi, yang artinya, pasti ada pemiliknya!
“darurat boy, apa aja bisa jadi halaaal” ia menambahkan sambil cengengesan
“Iyah... dan gerombolanmu itulah yang bikin kita begini.”
“sudahlah... ayo bikin api unggun, sebentar lagi kita bakar makan malam sambil renungan”
salahsatu anggota troublemaker yang paling alim mencoba menengahi dan memulai membuat api unggun.

Sebagai seorang alim, ia juga yang bisa menerangkan latar belakang acara kejutan malam itu dan mengungkapkan maksudnya untuk tadabbur alam. Hingga, sambil ditemani hangatnya api unggun dan bakar ketela, kami bisa mengambil pelajaran dari apa yang ia tadabburi sepanjang jalan.

Aku masih ingat, di bagian akhir monolognya, ia sempat berkata...
“dan kalian lihatlah bintang itu...” kata si alim ini sambil menunjuk tiga titik berkilauan berwarna merah di langit utara malam yang mendung itu.
“entah berapa milyar tahun jarak kita dengannya, tapi cahayanya tetap dapat kita nikmati. dengan cahaya indahnya, maka malam menjadi gemerlap, petani tahu kapan saatnya menanam dan pelaut bisa menentukan arah dengan panduannya. Ia tak pernah berpikir apakah cahayanya bisa dilihat orang, yang ia lakukan hanyalah terus bereaksi dan menghasilkan cahaya, meskipun cahayanya mungkin baru bisa kita nikmati setelah jutaan tahun perjalanan, dan bisa jadi, ketika cahayanya sampai di sini mungkin inti bintangnya malah sudah hancur tak bersisa...”
sebentar ia berhenti dan menarik napas yang dalam, sedalam napas kami semua yang tengah larut dalam kekaguman terhadap Kuasa-Nya
“tapi itulah ia... tanpa peduli apakah orang lain akan berterimakasih atau tidak, ia akan terus bersinar, dan memberikan kebaikannya pada semesta, sebisanya, sampai habis energinya...” dengan tatapan yang dalam ia menutup renungannya. Membuat kami semua larut dalam keheningan kebesaran Tuhan.

Tak lama kemudian, seorang temanku berbisik
“kalau cuaca se-mendung ini, kok bisa kelihatan ada bintang yah? Aneh!”
Aku tak menjawab, hanya memberi isyarat agar ia diam dan tidak merusak suasana khidmat dan penuh pelajaran itu.
Menjelang subuh, ketika adzan berkumandang dan aku mulai terbangun dari tidur yang lelap, beberapa temanku sedang duduk-duduk di depan tenda sambil riuh tertawa dan menunjuk ke arah utara...
 
Aku mulai mengucek mata dan melihat ke arah telunjuk temanku menunjuk...
 

tampaklah bintang-bintang yang semalam kami kagumi sekarang sudah meredup karena fajar, dan menempel di tiang sutet. 
Aku tertawa sekeras-kerasnya... seorang temanku berteriak kepada sie acara,

“jadi inikah yang semalam kita tadabburi kawan...?”

Ia hanya tersenyum kecut, tidak menjawab. Sedangkan temannya si alim itu sudah pulang duluan dari tadi menjelang subuh. Ia mendadak sakit perut kronis setelah melihat bintang yang ia kagumi semalam tersangkut di tiang sutet.

------------------------------------------------------------------------------
dari sebuah latar di sekitar SMP 4 Banjar, di pelosok Ciamis, pinggiran tanggul Citanduy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar