Sabtu, 10 Juli 2010

Langit Sore-nya


Pagi masih belum beranjak terang. Matahari belum juga menampakkan dirinya diantara lembaran awan yang merata menutupi langit pagi ini. Jakarta di pagi hari sudah menggeliat dari beberapa jam yang lalu. Yah, inilah salahsatu buktinya. Sejak setengah delapan tadi aku sudah berdiri di sini. Aku sedang menerawang jakarta. Jalan Sudirman, beberapa gedung tinggi, jalur 3 in 1 yang mulai sesak dengan kendaraan dan lapangan parkir terbuka yang terlihat mulai penuh. Pantas saja selama perjalanan tadi, jalanan lancar sekali, rupanya aku berangkat kepagian.

Aku masih sendiri. Di ruangan yang mirip seperti lobi itu. Dua set lingkaran sofa hitam disusun di sisi selatan ruangan yang berdinding kaca transparan dan menampilkan latar kota jakarta dari ketinggian lantai 39. Tepat di depan sofa itu aku berdiri, menerawang kota Jakarta yang terlihat seperti maket bergerak. Terselimuti kabut dan sedang menggeliat.

Namun pikiranku tidak sedang di situ, bukan diantara sofa atau kursi-kursi ruangan, bukan di gedung-gedung tinggi di seberang sana, atau bukan di jalan Sudirman yang ramai itu. Ruangan yang sepi itu tengah mengantar pikiranku terbang. Memutar mundur putaran jam ke arah yang berlawanan, menembus batasan waktu yang kita sebut sekarang. Menembus lembaran awan-awan tipis yang menjadi kelambu kota jakarta, menyusuri jalanan dalam ruang dan waktu yang berbeda, dan terhenti. Berhenti pada sebuah rumah sederhana bercat putih dengan kusen kayu kelapa hitam pada sebuah latar yang kita sebut masa lalu, sekitar tujuh tahun silam. Pinggiran kota Banjar.

***

Sebuah sore yang cerah, sepasang kursi kayu dan seorang pria sederhana setengah baya sedang duduk melepas lelah, ditemani anak lelakinya.
“sudah punya pilihan?” pria itu bertanya kepada sang anak
“sudah Pak, tapi belum tahu bagusan yang mana?”
“apa pilihannya?”
“pertama teknologi industri pertanian, kedua manajemen agribisnis...”

Wajah Bapak itu terlihat berpikir. “kenapa harus itu pilihannya...?”
“pertama, kalau dilihat dari perbandingan peminat dan jumlah yang diterima, ada empat jurusan yang banyak peminatnya yaitu kedua jurusan itu, sama ilmu komputer, dan teknologi pangan, persaingannya tinggi, jadi bisa dipastikan favorit Pak. Sayangnya, saya ngga minat sama ilmu komputer atau pangan. Jadi yah pilihannya jatuh ke dua pilihan itu. Kedua, jurusan manajemen itu kok rasanya kelihatannya bagus ya Pak, kayaknya bakal banyak duit hehe..., sementara kalau industri pertanian sih, kelihatannya lebih luas dan berorientasi ke masa depan, jadi kayaknya bakalan gampang kerja Pak, begitu... tapi bener ga sih yah?” anak lelaki itu tersenyum sambil garuk-garuk kepala.
Bapaknya tersenyum dan mengangguk, sambil menerawang jalanan desa di depan halaman,
“kamu ini kan mau kuliah, ini kaitannya sama masa depan lho...”
Dia berhenti sejenak.

Si anak termenung
“pilihannya terserah kamu, Bapak kan ga pernah kuliah, ga tau apa-apa, paling cuma bisa kasih pertimbangan, tapi, sekali kamu milih, Bapak ga bakalan ngasih kesempatan buat berhenti...”
“jadi gimana Pak?”
“manajemen agribisnis sepertinya bagus, tapi Bapak pikir sih kalau Teknologi Industri Pertanian sepertinya trend-nya bakal lebih bagus lagi... sekarang ini kan semua kerjaan bisa dikerjakan mesin. Barang-barang lebih banyak yang diproduksi massal. Kalau industri, semakin kedepan kayaknya bakalan semakin banyak, termasuk hasil pertanian juga, mungkin sekarang kita cuma tahu ikan kaleng, kornet atau mie instan, mungkin nantinya bakalan banyak lagi innovasi yang lain kan... kalau begitu, trend-nya bakalan jauh lebih bagus kan?”
Anak lelaki itu termenung, Bapaknya memang bukan orang kuliahan, tapi jalan pikirannya terbuka dan logis.
“saya juga sukanya yang itu, tapi kalau saya sudah pilih, ga boleh pindah ya Pak?”

Bapaknya hanya senyum sambil memandangnya.

“makanya Bapak minta kamu pilih salah satu yang kamu suka dan kamu memang punya impian ke situ. Bapak bakal dukung kamu. Buat Bapak sama Ibu, pendidikanmu lebih dari segalanya. Bapak ga punya apa-apa buat diwariskan, tidak uang, tidak juga harta. Tapi Bapak juga tidak mau mewariskan kebodohan Bapak buat kalian. Bapak ini dulu waktu SD tukang gembala kerbau, keluarga Bapak, mbah-mu itu ya miskin juga. Tapi sejak kecil Bapak pengen sekolah, meski orang-orang bilang tidak tahu diri, anak miskin mau sekolah! Tapi Bapak tetep sekolah, meski cuma bisa sampai SMA. Itupun kelas malam, sepulang Bapak kerja jadi kuli bangunan. Apa yang Bapak dapat saat ini, inilah yang terbaik yang bisa Bapak raih. Bapak tidak mau sejarah ini berulang pada kalian. Maka, buat Bapak, kalian harus jadi orang pintar. Yah... setidaknya kuliah minimal sampai S1. Kalau bisa, terus sampai S3, Bapak pasti bangga punya anak yang pinter dan berpendidikan. Tidak seperti Bapak yang cuma bisa jadi pegawai kecamatan. Sayangnya, Bapak cuma bisa modalin sampai S1, selanjutnya usahakan sendiri!..”

Bapak itu berhenti sejenak, membiarkan anaknya mencerna apa yang telah ia katakan.
Anak lelaki itu menatapnya.

“Sejujurnya, sekarang ini.... Bapak belum punya uang... tapi Bapak bakal usahakan! sekuat tenaga Bapak usahakan! Maka, sekali kamu melangkah, Bapak tidak akan biarkan kamu mundur dan mengecewakan...”

Sore itu semakin cerah tak berawan saat kedua lelaki dari generasi berbeda itu berdiskusi tentang masa depan, tentang kuliah, impian dan harapan.

***

“hey! Pagi-pagi dah ngelamun aja...!”
Aku tersentak. Lamunanku buyar.
Deni rekan trainingku tiba-tiba sudah duduk manis di sofa dengan secangkir kopi panas.
“eh... bikin kaget aja! Iya nih datangnya kepagian... temen-temen Fritoley lain mana Den?”
“tau tuh... tiap hari juga ngga pernah berangkat barengan kok...”

Sekali lagi Aku menatap langit Jakarta yang masih berawan dari lantai tertinggi di Indofood tower. Sekilas terbayang senyum Bapak yang tulus. Aku hanya ingin membalas senyumnya.
Pak, Aku sekarang telah sampai di titik ini, seandainya Bapak bisa melihatku, inilah salah satu yang kita rencanakan di sore itu...



)* untuk Bapak dan Ibuku tercinta, terimakasih telah menerangi hidupku dengan Impian dan Harapan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar