Rabu, 18 Juli 2012

Nia

-->
Pagi yang dingin. Malam sudah sampai di penghujung subuh. Langit yang gelap sedang perlahan memulai hari dengan cahaya fajar yang baru terlihat sekilas saja. Aku berjalan perlahan diantara pinggiran jalan desa ditemani embun yang hinggap di rerumputan yang perlahan-lahan membasahi sandal jepitku, menggoda kakiku dalam dinginnya pagi yang terasa semakin menusuk. Alhamdulillah, rasanya tak henti-henti kuucap syukur kepada-Nya sepanjang perjalanan pulang dari mesjid pagi ini. Udara segar, atmosfer penuh oksigen minus emisi kendaraan, sesuatu yang teramat jarang atau mungkin bahkan sesuatu yang mustahil kudapati di kawasan Industri tempat tinggalku.

Sebelum memasuki halaman rumah, penasaran kulihat lagi langit di sebelah timur dimana fajar mulai sedikit beranjak. Bulan yang terlambat menghilang masih terlihat terang, ditemani Venus dan dua bintang yang terang benderang. Sekali lagi membuat pagi itu terasa teramat sempurna untukku.
Bergegas aku memasuki rumah dan menuju kamarku. Semerbak melati sejenak menyergap penciumanku ketika kubuka pintu kamarku. Suara tilawah al qur’an perlahan memenuhi atmosfer hangat kamarku, di atas sajadah di samping ranjang pengantin kami, masih lengkap dengan mukena putihnya, kudapati istriku sedang mengaji, merdu mengalun menggetarkan perasaan. Aku tertegun, sebelum ini tak pernah kudengar suaranya ketika mengaji, ini kali pertama aku mendengar suaranya yang mengalun merdu, rasanya tak pernah kudengar nyanyian apapun yang lebih indah dari suara tilawahnya.

Ya, suara tilawah itu adalah suara Nia. Malam ini adalah malam pertama ia menjadi istriku, dan pagi ini adalah pagi pertama dalam hidupku dimana aku mendapati seorang wanita cantik sedang mengaji di kamarku. Sekali lagi dadaku berdegup merasakan euphoria luar biasa. Ia adalah istriku. Sebuah status yang baru saja semalam ini ia resmi menyandangnya, status barunya sebagai seorang istri. Aku tersenyum sendiri, perlahan rasa haru dan bahagia menghampiriku. Perlahan kulepas kemejaku dan duduk bersandarkan bantal di ranjang pengantinku, tepat di samping sajadah Nia. Kupejamkan mataku sembari meresapi lantunan suara istriku. Sungguh, sekali lagi berani kukatakan, aku pria paling bahagia di dunia.

Sejenak ketika aku hampir terbuai suara pagi yang tiba-tiba sunyi, kurasakan seseorang duduk di tepi tempat tidur. Kubuka mataku dan kudapati Nia dengan mukena putihnya tersenyum.
“masih ngantuk mas?”
“oh, ngga, mas lagi terbuai menikmati surga dunia”
“apa sih mas? Aneh ih… atau jangan-jangan mau gombalin aku yah?”
Perlahan ia meletakkan tangannya di dadaku. Kugenggam jemarinya dan kudekap erat didadaku.
“aku sedang merasakan euphoria luar biasa dek, kebahagiaan hari ini terasa sangat luar biasa. Mulai dari subuh yang segar, langit pagi yang luar biasa dan sambutan suaramu di kamar ini… “
Sejenak ia mengusap rambutku dan membetulkan kaosku seperti anak kecil. Sambil tersenyum ia kembali bersuara.
“itu sebetulnya biasa saja mas, tapi karena hatimu lagi bahagia, makanya jadi berasa istimewa”
“udara dan atmosfernya mungkin iya dek, tapi suaramu itu lho, tilawahmu itu betul betul baru pertama kutahu…”

Ia tak menjawab, perlahan ia bersandar manja di dadaku. Kurasakan detak jantungnya yang bergerak ritmis. Kukecup keningnya dan kubiarkan ia tetap memelukku. Di atas ranjang bersejarah bagi kami ini, sejenak kami berdialog dengan rasa sendiri sendiri dalam sepi. Semalam, kamar ini menjadi saksi malam pertama kami. Malam dimana Nia menyerahkan kesucian yang sepenuhnya ia berikan kepadaku, suaminya. Sebagai ungkapan rasa yang selama ini ia pelihara hanya untukku. Perlahan kurasakan butiran hangat menyentuh dadaku. Nia menangis di pelukanku.
“dek, kok nangis? Kenapa…?”
“gapapa mas”
“tapi kok nangis? Ada yang salah?”
“ngga mas, aku Cuma terlalu bahagia hari ini…”
“bahagia kenapa? Karena menjadi istriku..?”
Ia hanya mengangguk perlahan.
“kenapa kamu sebahagia itu dek?”
Nia terdiam
“apa karena aku seniormu di kampus? Karena aku kakak kelas yang kalian anggap hebat?”
Nia menggeleng perlahan
“Atau karena karirku yang cukup bagus?”
Nia menggeleng lagi
“atau karena semua pencapaianku selama ini?”
“bukan mas, bukan karena itu, Nia bahagia karena bisa menikah dengan Mas, tapi bukan itu semua alasannya”
“lantas apa alasannya dek?”
Nia menatapku dengan mata yang sembab, kuusap air mata yang mengalir di wajahnya.
“kenapa dek?”
“Nia bahagia, karena bisa menikah dengan orang yang tepat, orang yang menyayangi Nia dan yang penting…”
“apa yang penting dek…?”
“Nia menikahi orang yang Nia sayangi selama ini…”

Rasa haru dan bahagia kembali menyergap atmosfer kamar kami pagi ini. Kupeluk erat Nia, wanita yang sejak lama kudambakan untuk menjadi istriku.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar