Bagi seorang linear seperti saya, yang namanya mimpi itu, ya tidur. Sedangkan dalam tidur, tingkat konversi dari pikiran ke aksi adalah nol. Jadi, bagi saya, sebesar apapun mimpi itu, ketika hendak dikonversi ke alam nyata dalam bentuk aksi, maka hasilnya tetap nol. (Dimas G Randa)
Setiap kali saya membahas ini, tentang gambar
ini, dan tentang pernyataan sahabat baik saya yang ada di bawah gambar itu,
dibahas dengan siapapun, atau malah kalaupun didiskusikan dengan pikiran saya
sendiri, semuanya pasti kembali ke background pergerakan kampus IPB di masa
saya kuliah beberapa tahun yang lalu. Tepat di masa saya menjadi jembatan
koordinasi antara dua bagian Rijal dan Nisa di BKIM. Kisah ini akan selalu saya
kenang sebagai sebuah torehan sejarah tak terlupakan, karena dari sinilah bermula,
perbedaan pemahaman tentang DREAM atau mimpi atau impian, cukup menghambat komunikasi yang
terjadi dalam pergerakan. Begitu terasa karena saya berada dalam satu posisi
kunci komunikasi, Ketua Harian I untuk Wilayah Kampus Darmaga.
Menurut kamus Besar bahasa Indonesia mimpi
adalah sesuatu yang terlihat dalam tidur dan masih menurut kamus bahasa Indonesia juga, impian
adalah barang yang sangat diinginkan.
Perkaranya mudah saja
sebenarnya, kaum rijal dimana saya bernaung sebagai juru bicara dalam sistem
komunikasinya, menganalogikan DREAM
sebagai mimpi, maka betul jika salah satu sahabat baik saya menentang
dengan keras kata-kata DREAM yang digunakan sebagai cita-cita revolusi kampus
yang sedang kami rintis. Alasannya juga tepat, sebagaimana yang sering dia
katakan “yang namanya mimpi itu, ya
tidur. Sedangkan dalam tidur, tingkat konversi dari pikiran ke aksi adalah nol.
Jadi, bagi saya, sebesar apapun mimpi itu, ketika hendak dikonversi ke alam
nyata dalam bentuk aksi, maka hasilnya tetap nol”. Seperti biasa, dan umumnya pemikiran kaum pria, logis.
Alih-alih menyetujuinya, kaum Nisa
juga tidak mau kalah berteriak keras. Bersikukuh mengatakan bahwa DREAM adalah impian. Sesuatu yang
sangat diinginkan. Karenanya, hampir dalam setiap perdebatan dan forum diskusi
yang secara langsung mempertemukan kedua kubu ini, Kubu Nisa akan dengan sangat
bangga menggunakan kata DREAM sebagai kata pengganti untuk cita-cita pergerakan
kampus. Sebuah kata universal yang mudah diingat dan ditancapkan dalam benak
mereka sebagai sebuah tujuan hidup.
Sampai dengan tahap ini, saya
sendiri sering kebingungan. Siapa yang salah? Siapa yang benar? Karena keduanya
berteriak sama lantang dan keukeuh
dengan pendapatnya masing-masing.
Dalam konteks ini sebetulnya,
menurut saya pribadi, akan lebih mudah untuk menyelesaikannya seandainya ada
satu pihak yang mengubah sudut pandang dan menggeser persepsinya. Bisa saja
rekan-rekan nisa yang mengubah penyebutan DREAM menjadi cita-cita atau tujuan
pergerakan, dan sayangnya, sepanjang yang saya tahu, itu hal yang sangat sulit,
karena sudah termaktubkan dalam benak dan hati mereka semua bahwa DREAM adalah
kata yang paling tepat. Dalam hal ini, mereka mempertahankan sisi emosionalnya.
Saat itu saya coba beralih ke
rekan-rekan Rijal. Saya pernah nyeletuk “yaudah
sih, anggap aja DREAM itu impian
bukan mimpi. Lagian kan memang secara kontekstual kita ngeh juga dengan apa yang mereka maksud dengan kata-kata itu. Maksudnya
ngajak punya cita-cita bareng dan
bukan ngajak tidur bareng”.
Uniknya, rekan-rekan Rijal
dengan tegasnya membantah. “DREAM itu ya mimpi!”
Oke saya menyerah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar