Jumat, 11 Oktober 2013

Impian dari Kampus Hijau














Bagi seorang linear seperti saya, yang namanya mimpi itu, ya tidur. Sedangkan dalam tidur, tingkat konversi dari pikiran ke aksi adalah nol. Jadi, bagi saya, sebesar apapun mimpi itu, ketika hendak dikonversi ke alam nyata dalam bentuk aksi, maka hasilnya tetap nol. (Dimas G Randa)



Setiap kali saya membahas ini, tentang gambar ini, dan tentang pernyataan sahabat baik saya yang ada di bawah gambar itu, dibahas dengan siapapun, atau malah kalaupun didiskusikan dengan pikiran saya sendiri, semuanya pasti kembali ke background pergerakan kampus IPB di masa saya kuliah beberapa tahun yang lalu. Tepat di masa saya menjadi jembatan koordinasi antara dua bagian Rijal dan Nisa di BKIM. Kisah ini akan selalu saya kenang sebagai sebuah torehan sejarah tak terlupakan, karena dari sinilah bermula, perbedaan pemahaman tentang DREAM atau mimpi atau impian, cukup menghambat komunikasi yang terjadi dalam pergerakan. Begitu terasa karena saya berada dalam satu posisi kunci komunikasi, Ketua Harian I untuk Wilayah Kampus Darmaga.

Menurut kamus Besar bahasa Indonesia mimpi adalah sesuatu yang terlihat dalam tidur dan masih menurut kamus bahasa Indonesia juga, impian adalah barang yang sangat diinginkan.

Perkaranya mudah saja sebenarnya, kaum rijal dimana saya bernaung sebagai juru bicara dalam sistem komunikasinya, menganalogikan DREAM sebagai mimpi, maka betul jika salah satu sahabat baik saya menentang dengan keras kata-kata DREAM yang digunakan sebagai cita-cita revolusi kampus yang sedang kami rintis. Alasannya juga tepat, sebagaimana yang sering dia katakan “yang namanya mimpi itu, ya tidur. Sedangkan dalam tidur, tingkat konversi dari pikiran ke aksi adalah nol. Jadi, bagi saya, sebesar apapun mimpi itu, ketika hendak dikonversi ke alam nyata dalam bentuk aksi, maka hasilnya tetap nol”. Seperti biasa, dan umumnya pemikiran kaum pria, logis.

Alih-alih menyetujuinya, kaum Nisa juga tidak mau kalah berteriak keras. Bersikukuh mengatakan bahwa DREAM adalah impian. Sesuatu yang sangat diinginkan. Karenanya, hampir dalam setiap perdebatan dan forum diskusi yang secara langsung mempertemukan kedua kubu ini, Kubu Nisa akan dengan sangat bangga menggunakan kata DREAM sebagai kata pengganti untuk cita-cita pergerakan kampus. Sebuah kata universal yang mudah diingat dan ditancapkan dalam benak mereka sebagai sebuah tujuan hidup.

Sampai dengan tahap ini, saya sendiri sering kebingungan. Siapa yang salah? Siapa yang benar? Karena keduanya berteriak sama lantang dan keukeuh dengan pendapatnya masing-masing.

Dalam konteks ini sebetulnya, menurut saya pribadi, akan lebih mudah untuk menyelesaikannya seandainya ada satu pihak yang mengubah sudut pandang dan menggeser persepsinya. Bisa saja rekan-rekan nisa yang mengubah penyebutan DREAM menjadi cita-cita atau tujuan pergerakan, dan sayangnya, sepanjang yang saya tahu, itu hal yang sangat sulit, karena sudah termaktubkan dalam benak dan hati mereka semua bahwa DREAM adalah kata yang paling tepat. Dalam hal ini, mereka mempertahankan sisi emosionalnya.

Saat itu saya coba beralih ke rekan-rekan Rijal. Saya pernah nyeletuk “yaudah sih, anggap aja DREAM itu impian bukan mimpi. Lagian kan memang secara kontekstual kita ngeh juga dengan apa yang mereka maksud dengan kata-kata itu. Maksudnya ngajak punya cita-cita bareng dan bukan ngajak tidur bareng”.
Uniknya, rekan-rekan Rijal dengan tegasnya membantah. “DREAM itu ya mimpi!”


Oke saya menyerah! 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar