Jumat, 11 Oktober 2013

Senja Kemarau




A bleeding heart torn a part 
Left on an icy grave 
In their room where they once lay 
Face to face 
Nothing could get in their way 



Senja musim kemarau terasa kering berwarna. Langit cerah sedang berebut kuasa dengan bayangan gunung yang hampir menyembunyikan semburat cahaya emas di balik keangkuhannya. Waktu seakan berjalan teramat pelan. Menemani cahaya sore yang enggan segera beranjak, seolah masih merindukan lagit cerah tanpa awan. Sepasang mata menerawang ke atas semburat senja diatas langit yang menjelang redup. Sepasang mata berkaca-kaca merindukan cahaya agar tak segera terendap di balik gunung. Angin yang berhembus perlahan menepi, membawa serta aroma tanah belah. Kering karena terlalu lama tak pernah tersiram hujan. Perih menganga seperti luka yang lama mengering. Perlahan sepasang mata itu seperti semakin nanar memandang senja yang enggan beranjak. 

Samar. Angin yang berhembus menyentuh dedaunan, menggoyang pohon-pohon perlahan. Menggesek dedaunan dengan ranting-ranting kering mengantarkan suara alam yang sangat indah. Samar di kejauhan. Suara alam yang dikomposisi oleh semesta itupun melarutkannya dalam sebuah kenangan. 

Ia menggumamkan kata-kata yang tak jelas terdengar. Bahkan oleh telinganya sendiri. Ia sedang berbicara dengan batinnya. Berdialog dengan kekosongan hati. Setelah sekian lama ia memanggil kembali ingatan bawah sadarnya tentang sesuatu, tentang sebuah nama yang tidak ingin diingatnya namun tidak pernah bisa dilupakan. 

Keriput di pipinya perlahan basah. Sepasang mata itu tak mampu menahan rindu. Sesekali tangan kakunya menyeka aliran kecil di wajahnya. Ia memejamkan matanya. Merasakan kembali senja yang pernah begitu dicintainya beberapa dekade ke belakang. Yang pada suatu ketika yang lain, juga pernah sangat dibencinya. Ia tidak pernah berharap, akan berakhir seperti senja ini. Dalam kesendirian. Setelah sekian lama ia mampu berdiri sendiri. Untuk pertama kalinya, di tengah hembusan napasnya yang tak lagi ringan, ia menyerah. Ia akhirnya mengakui. Waktu mungkin membawanya melewati semuanya. Namun tidak dengan ingatannya. Memori bawah sadarnya tak pernah benar-benar beranjak dari sebuah senja yang sudah lama berlalu. 


But now the memories of the man are haunting her days 
And the craving never fades 
She still dreaming of the man long forgiven 
But not forgotten 
You’re forgiven, not forgotten... 



Senja kemarau ini. Membuatnya menyerah pada nasib yang sudah terlanjur ditegakannya. Perang batinnya telah berujung pada kekalahan. Setelah sekian waktu berlalu. Ia menarik napas dalam. Perlahan. Matanya terpejam. Pedih. Batinnya tak cukup kuat untuk melupakan masa lalu... 

Kalimat itu perlahan kembali terdengar samar, menemani matanya yang terpejam. 


You’re forgiven not forgotten 
You’re forgiven not forgotten 
You’re forgiven not forgotten... 


Dan senja pun perlahan padam. [] 

1 komentar: