Rabu, 18 Juli 2012

Anak-anak Alam

[pinggiran sungai Citanduy]

Alur berwarna kuning itu terlihat memanjang, berkelok diantara sela-sela rerumputan liar yang tebal. Hmmm. Masih seperti dulu, alur bekas roda sepeda itu masih ada. Denyut kehidupan di tempat ini masih mengandalkan kendaraan sederhana itu, sepeda kumbang. Tanggul Citanduy yang penuh berumput itu masih seperti dulu, hijau subur dengan dua alur berwarna kecoklatan di tengahnya. Itu adalah sisa jejak roda sepeda yang setiap hari bergantian melindas rerumputan.

“Saya akan menghitung sepuluh menit dengan stopwatch! Kalian harus berlari turun ke sisi selatan, naik lagi, terus turun ke sisi utara, dan naik lagi. Lakukan terus selama sepuluh menit. Dan begitu saya tiup peluit, berhenti dan diam di tempat”

Pria berwajah keras itu menatap mata anak-anak itu satu per satu, memastikan semuanya mendengarkan apa yang dia instruksikan.

“setelah itu, Saya akan tiup peluit lagi dan kalian mulai menghitung detak nadi masing-masing. Begitu tiupan peluit yang kedua, kalian berhenti dan ingat-ingat jumlah detak jantung kalian selama semenit itu...” Ia kembali mengambil jeda sebelum akhirnya berteriak
“kalian mengerti?!!”
“siapp!!! Mengerti pak!!” anak-anak itu membalas teriakannya.
Pria tua itupun menyiapkan peluit dan stopwatch tua di tangannya.
“siaaaap!!! Satu... dua... tigaaa...!!“ priiiittt!! Seolah tidak puas dengan teriakannya yang memekakkan telinga, pria tua antagonis itu pun meniup peluit sekuat tenaga.

Rombongan anak-anak itu pun menghambur menuruni tanggul, seperti sekawanan lebah yang terusik dari sarangnya, berlomba mengejar sang pengganggu. Mereka bersemangat menuruni tanggul dan kemudian berbalik arah, mendaki dan kemudian menuruni lereng tanggul di seberangnya. Mereka berlari bersemangat sekuat tenaga masing-masing. Aku tersenyum mendapati seorang bocah gendut yang tertinggal kecepatannya. Jarak yang ditempuhnya tertinggal setengah dari pelari tercepat. Menjelang sepuluh menit, ia masih berusaha bergerak lebih cepat, meski pergerakannya semakin limbung.

Prittt!!
Anak-anak itu pun berhenti dan berdiri di tempat berhenti masing-masing. Save by the bell, bocah gendut itu tersenyum, semuanya sudah berakhir.

Prittt!!
Mereka serempak memegang dada atau pergelangan tangan dan mulai menghitung.

Prittt!
Anak-anak itu pun akhirnya menghela napas panjang dan sebagian langsung duduk lemas menanti dipanggil namanya untuk setor angka.

***

Kringgg!! Suara kliningan sepeda membuyarkan konsentrasiku.
“permisi mas...” si Bapak tua di sepeda tersenyum ramah dan menyapaku
“monggo pak...”

Aku melirik kembali ke arah trek lari anak-anak tadi, semuanya telah hilang. Aku tersenyum menatap jalan menurun dari tanggul Citanduy. Bapak tua berwajah keras itu, rombongan anak-anak itu, dan bocah gendut itu. Mereka hilang. Aku hanya bisa mendapati angin semilir yang menyentuh ilalang dalam kesunyian. Namun semua kejadian itu masih terekam jelas dalam ingatanku, bahkan aku masih bisa mengingat detak jantung yang sangat cepat setelah tes itu. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk dilalui. Banyak hal terjadi diantara masa itu dan sekarang.

Setelah sekian waktu berlalu, rombongan anak-anak itu masih sering aku rindukan.

===================================
Mengenang acara rutin menjelang latihan silat semasa SMP

1 komentar: